Tertawa dan bercanda saat sedang melayat atau berada di pemakaman? Sudah pasti dapat teguran! Bakal dianggap tak sopan atau tak punya empati, bukan? Ya, itu common sense di mana pun. Akan tetapi di sini, pada keyakinan ini, justru sebaliknya: bakal ditegur kalau tampak sedih atau menangis dalam upacara kremasi. Saat itu justru tidak boleh ada suasana duka. It should be joyful! Because it is.
Akhir pekan itu saya ke Bali sekadar untuk memenuhi undangan acara salah satu resor bintang lima milik seorang teman. Tidak ada rencana lain. Namun begitu sampai hotel, rasanya sayang bila sudah di Bali tetapi tidak melihat upacara adat. Saya pun menghubungi Bli Tozan, salah satu teman baik di Bali, dan menanyakan apakah weekend itu ada event atau upacara adat di sekitar Sanur. Ternyata kebetulan saat itu Bli Tozan sedang menuju Pantai Karang, Sanur, untuk mengikuti Upacara Ngaben.
Saya buru-buru ke sana sebab iring-iringan sudah mendekati lokasi upacara. Karena tidak ada persiapan, saya tidak sempat berganti kostum, tidak membawa baju adat, pun tak ada waktu untuk pinjam. Ya, tidak seperti biasanya mengenakan baju adat di upacara, kali ini bakal nonton layaknya turis, deh.?
Kedatangan saya di pantai Karang, Sanur, berbarengan dengan rombongan bade atau keranda yang diiringi oleh musik gamelan khas Bali. Iring-iringan yang semua pesertanya mengenakan baju adat seperti udeng, keba, dan kain bali, ini terdiri dari keluarga, kerabat, dan para tetangga se-banjar (wilayah administratif di bawah kelurahan atau desa, setingkat rukun warga). Mereka yang tidak mengusung bade mengikuti di belakangnya sembari membawa bebanten (sesajen).
Di setiap persimpangan jalan atau perempatan menuju lokasi kremasi, bade selalu diputar 3 kali, terutama di area yang kuat aura mistisnya. Tujuannya untuk keseimbangan jalan roh, mencegah arwah penasaran.
Selang tak lama, akhirnya saya bertemu Bli Tozan di antara kerumunan di tanah lapang dekat Pantai Karang. Bli Tozan yang mengenakan atasan Bali warna hitam, lengkap dengan kain dan udeng, hadir bersama ibunya yang mengenakan kebaya Bali warna kuning.

Ritual Pembebasan Arwah
Di tanah lapang ini dimulailah ritual pembebasan arwah. Jenazah dipindahkan dari usungan ke wadah pembakaran jasad/kremasi berbentuk lembu. Bentuk binatang ini tergantung klannya. Untuk seorang raja, wadahnya bentuk naga, untuk kesatria berbentuk singa, sedang bagi orang suci berbentuk lembu putih, dan selebihnya berbentuk lembu hitam.
Beberapa pemuka dibantu keluarga melakukan upacara pembakaran, setelah sebelumnya didoakan. Sementara itu, para tetangga yang mengikuti iring-iringan tadi beristirahat di bawah pohon atau berteduh di tempat yang agak sejuk lainnya. Maklum siang itu Sanur sedang panas-panasnya.

(Foto: Leonita Julian)
Api menyala bersumber dari api di daun kelapa yang disulut ke tumpukan kayu bakar tepat di bawah wadah pembakaran yang di dalamnya berisi jasad. Dalam sekejap, gumpalan asap pun membubung tinggi.
Bli Tozan mengajak saya mendekati salah satu gerombong (wadah kremasi) yang belum dibakar, sembari menjelaskan tentang adat Ngaben yang sedang berlangsung. Ada 2 wadah pembakaran di situ. Ternyata Upacara Ngaben kali ini berupa acara gabungan dari beberapa banjar. Sebenarnya ada 3 jasad yang dikremasi, tetapi salah satunya sudah lebih dahulu dikremasi agak lebih pagi. Siang itu, 2 jasad lainnya menyusul, yang salah satunya berasal dari Banjar Semawang, tempat Bli Tozan tinggal. Kebetulan hari itu dianggap hari baik untuk mengadakan upacara Ngaben.
Di samping jasad tersebut tampak bekal berupa benda-benda kesayangan almarhum, seperti pakaian, perhiasan, sesajen, bunga, dan semacamnya.
Di sini kami bertemu dengan beberapa turis yang juga sibuk memotret dan mengamati upacara kremasi. Kami sempat berbincang dengan mereka. Salah satunya Caron, wanita paruh baya berkacamata dari Australia. Ia mengaku sering traveling ke Indonesia, terutama Bali, karena sangat tertarik dengan budayanya. Bahkan kali ini ia traveling solo untuk mengobati kerinduannya kepada Bali.

Saya dan Caron memiliki rasa penasaran yang sama saat melihat situasi Ngaben ini. Tidak ada yang tampak bersedih! Bahkan mereka saling mengobrol dan bercanda. Jadi susah menebak mana keluarga yang sedang berkabung.
Akan tetapi memang itulah tradisi Ngaben. Bli Tozan menjelaskan, bahwa meskipun Upacara Ngaben erat dengan kedukaan atau kematian, tetapi harus diwarnai dengan sukacita. Dalam keyakinan Hindu-Bali, kematian bukanlah akhir, tetapi justru sebaliknya, merupakan awal, saat kita terlahir kembali. Keluarga yang ditinggalkan harus ikhlas, tidak boleh menangisi yang telah pergi, karena dapat menghambat perjalanan arwah ke tempatnya berasal.
Sejatinya jiwa-jiwa itu tidak pergi, tetapi justru pulang ke Sang Pemilik Kehidupan. Sehingga sepantasnya berbahagialah mereka yang menghantarkan kepulangannya, penuh syukur dan sukacita.
Tradisi Hindu meyakini bahwa kehidupan ini terbagi dalam tiga alam, yaitu, alam nyata, gaib, dan nirwana. Nah, jasad yang sudah meninggal tetapi belum di-ngaben dianggap belum sempurna arwahnya untuk menuju nirwana. Tentu keluarga yang ditinggalkan berharap bisa segera membebaskan arwah leluhur yang berada di alam gaib menuju ke nirwana melalui Ngaben.
Kepercayaan menghantarkan leluhur ke nirwana inilah yang menciptakan wajah-wajah bersemangat saat tulang belulang mendiang dibakar hingga perlahan-lahan menjadi abu di Upacara Ngaben. Ada banyak harapan bagi yang telah meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan.
Ngaben kolektif, mengatasi mahalnya biaya upacara
Sayangnya untuk keperluan Upacara Ngaben ini dibutuhkan biaya hingga puluhan juta. Itu baru biaya upacara yang standar. Untuk upacara mewah, yang umumnya diadakan oleh keluarga berkasta tinggi atau terpandang, biayanya bisa lebih dari 100 juta rupiah.
Tak mengherankan, bila saat ini mulai banyak dilakukan Upacara Ngaben kolektif atau massal untuk meringankan biaya.
Dalam Ngaben massal, keluarga kerajaan atau puri menggelar Ngaben bersama, melibatkan masyarakat yang juga ingin menghantarkan jasad keluarganya. Upacara ini disebut Ngaben Ngiring. Ini yang pernah saya saksikan pada upacara Ngaben besar di Puri Agung Ubud.
Biaya upacara bisa ditanggung pihak puri, sedangkan warga membantu menyelesaikan sarana upakara, atau bisa juga warga yang berpartisipasi dikenakan biaya yang cukup murah.
Beberapa banjar di Sanur, contohnya Banjar Semawang, menyediakan santunan dan bantuan khusus kematian, termasuk untuk biaya bade dan kremasi. Inilah yang terjadi dalam Upacara Ngaben di Pantai Karang, Sanur ini.

Prosesi selanjutnya adalah memberi suguhan kepada Sang Penguasa Kehidupan. Tampak berbagai macam sesajen digelar di altar. Selain bunga dan wewangian, di antaranya tersaji makanan, ayam, dan itik. Abu tulang belulang sisa pembakaran dibungkus dengan kain putih, sebagai perwujudan dikembalikannya unsur panca maha butha yang ada dalam diri manusia kepada Asalnya, atau ke Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa). Panca maha butha adalah lima unsur pembentuk manusia, yakni tanah (pertiwi), air (apah), api (teja), angin (bayu), dan eter (akasa).
Diyakini bahwa ketika manusia meninggal, yang mati hanya badan kasarnya saja, sedang rohnya tetap hidup. Upacara Ngaben yang dipimpin seorang Ida Pedanda inilah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Prosesi Larung Abu
Usai prosesi suguhan, keluarga dan kerabat berbondong-bondong menuju bibir pantai, khidmat mengarak abu jenazah yang terbungkus kain putih dan sesajen. Di batas darat dan laut itu, dipimpin Ida Pedanda, mereka membaca mantra-mantra agar proses pengembalian unsur panca maha buta dapat berterima.
Abu jenazah berbalut kain putih itu kemudian dibawa beberapa pria keluarga almarhum sejauh mungkin ke tengah laut. Mereka terus berjalan meninggalkan daratan sejauh kemampuan, sampai badan tenggelam, hanya tampak kepala-kepala mereka di antara birunya air laut. Di sana, abu jenazah itu dilarung, dihanyutkan.

Beberapa turis yang mengenakan baju renang tampak sejenak menghentikan aktivitas mereka, beralih mengamati prosesi larung abu yang tersaji di depan mata. Maklum, lokasi prosesi ini tepat di “halaman” belakang sebuah hotel.
Larung abu itu menyudahi rangkaian Upacara Ngaben, tetapi bukan mengakhiri ritual menghantar keluarga yang sudah pergi. Masih panjang rangkaian ritual lainnya yang menanti diselenggarakan, untuk menghantarkan arwah ke tempat layaknya mereka kembali.
Upacara Ngaben di Pantai Karang, Sanur, itu termasuk sederhana. Ada yang lebih mewah dibanding itu, yang dilengkapi pertunjukan dan bisa menjadi hiburan bagi wisatawan. Namun saya justru ingin mengenal upacara sederhana seperti ini, supaya lebih mudah memahami prosesinya.
* * *
Ada hal unik yang bisa saya ambil makna pentingnya dari tradisi Ngaben di Bali ini, yaitu bagaimana perbedaan pola pikir, mindset, bisa membentuk suatu karakter, suatu budaya. Different mindset, different culture. Bagaimana mindset bisa dengan mudahnya mengubah kesedihan menjadi kegembiraan, semangat, harapan baru. Bayangkan seandainya prosesinya bukan Ngaben di Bali. Bisa jadi susananya penuh duka, dan lokasinya harus bersih dari turis.
Seandainya kita bisa mengubah mindset di setiap kesedihan, kesialan, menjadi sesuatu yang positif, mungkin tidak perlu lagi ada galau.
Seandainya kita bisa mencoba mengubah mindset terhadap setiap provokasi, tidak mudah emosi atau tertipu, mencoba memahami persepsi dari sudut pandang orang lain, budaya lain, mungkin setengah dari permasalahan SARA di Indonesia bisa lekas diselesaikan. Mungkin. I wish, I hope.[]