Setelah sekian lama meninggalkan Surabaya dan akhirnya kembali ke sana, barulah saya mengenal kekuatan kota ini. Bagi saya, Surabaya itu kota hebat yang memiliki kontradiksi yang unik. Sayangnya, kota ini sedikit underrated.

Surabaya hanya dikenal sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta; Kota dagang, kota bisnis, kota maritim…. Jauh dari sebutan kota pariwisata.

Ada dua kata paling ikonik tentang Surabaya yang sering diujarkan mereka yang sempat mengunjungi ibukota Jawa Timur ini. “Panas” dan “bonek”! Malah pengucapan panasnya mungkin bukan sekadar “panas”, tapi “paaanaaasss” atau “puanaaasss”. Ya, saking hot-nya!

Bahkan sekembalinya ke Surabaya setelah lama tinggal di Jakarta yang juga panas, kulit saya bisa merah-merah karena tak kuat dengan iklim Surabaya yang terik dan kering saat siang hari.

Tahukah apa alasan saya meninggalkan Jakarta dan balik lagi ke Surabaya?

Jujur saja, karena kecewa dengan kota metropolitan atau provinsi “modern” itu, yang ternyata mudah terprovokasi persoalan keyakinan: sesuatu yang tak pernah terpikir di benak saya saat memutuskan tinggal dan menjadi warga DKI Jakarta. Selain itu, alasan saya tinggal di Jakarta adalah ke-“bebas”-annya, yang ternyata justru menjadi kelebihan dan keunikan Surabaya.

Surabaya itu dikenal sebagai kota panas, tetapi tidak mudah “panas” oleh provokasi. Sudah beberapa kali terbukti “cuek”-nya warga kota ini terhadap provokator.?

Yang pertama adalah saat kerusuhan ’98 di Jakarta dan kota lain yang dihuni banyak warga keturunan Tionghoa. Meski di Surabaya terdapat beberapa pusat perkampungan cina, seperti di Kapasan dan Kembang Jepun, tetapi kota ini tidak terusik kerusuhan. Warganya lebih tahu kekuatan diri sendiri dan saling memahami, alih-alih termakan provokator dari luar kota.

Begitu pun saat peristiwa demo lilin/demo toleransi, Mei 2017. Provokator yang berkomentar negatif asalnya dari luar. Warga Surabaya-nya, sih, tenang-tenang saja. Warganya memang bonek, bondo nekat, seperti sebutan suporter tim kesayangan kota ini, Persebaya. Kali ini para bondo nekat itu berani menentang provokator.

Entah, warga Surabaya itu paling cuek provokasi atau paling keras kepala. Beda tipis, ya? Yang pasti warga Surabaya itu orangnya to the point, tidak suka basa-basi. Sepertinya cuaca panasnya membikin mereka tidak suka basa-basi.?

Saya masih ingat jawaban kakak kelas saya di Universitas Airlangga, Surabaya, yang berasal dari Sumatera namun lebih memilih Surabaya dibanding Jakarta atau kota lainnya. Saya penasaran akan alasannya.

“Karena Surabaya itu toleransinya paling bagus,” jawabnya. Jawaban yang waktu itu masih menyisakan banyak tanya di benak saya, tetapi kini sudah terbukti kebenarannya.?

Tadi saya bilang soal “underrated”. Ya, Surabaya jarang dijadikan tujuan berwisata. Belum mencoba pun, kebanyakan sudah menyerah dengan kesibukan kota ini. Bahkan biro-biro wisata umumnya hanya mempromosikan destinasi yang itu-itu saja: tentunya sudah banyak yang mengenal Tugu Pahlawan, Kebon Binatang Surabaya, atau Rumah Sampoerna, bukan?

Surabaya, Kota Toleransi

Tahukah kamu, bahwa di Surabaya ada dua tempat ibadah beda keyakinan yang saling berdampingan, dan bukan hanya sekadar simbol toleransi? Ada masjid besar di sana yang juga dikenal sebagai tempat wisata, yaitu Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya atau Masjid Agung Surabaya (MAS). Lokasinya bersebelahan dengan Gereja Katolik Paroki Sakramen Mahakudus.

Gereja dan Masjid Agung Surabaya
Gereja Katolik Paroki Sakramen Mahakudus, bersebelahan dengan Masjid Agung Surabaya. (Foto: Leonita Julian)

Bukan hanya berupa tempat ibadah atau berkumpulnya umat Islam, MAS juga menjadi tempat edukasi dan pendidikan kebudayaan, sekaligus simbol kemajuan teknologi warga Surabaya. Masjid yang diresmikan mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid pada 10 November 2000 itu dibangun di atas lahan seluas 11,2 ha, dengan kapasitas 36-ribu jamaah, dan dibangun dengan perhitungan teknologi yang sangat matang.

Tak cuma umat Islam yang menikmati keberadaan masjid ini. Coba kunjungi pada pagi hari, pasti banyak kita temui warga yang melakukan jogging atau jalan kaki mengitari trotoar masjid. Pada Minggu pagi, bisa kita temui “Pasar Minggu” di seputar masjid.

Di sebelahnya, Gereja Katolik Paroki Sakramen Mahakudus sama luasnya. Kalau tidak ingin capek berjalan mengelilingi sekitar masjid dan gereja, ada delman yang bisa disewa.

Ya, ini bukan sekadar simbolisasi, tetapi menjadi salah satu bukti nyata kerukunan beragama di Surabaya. Kotanya boleh panas, tetapi tidak hatinya.?

Surabaya, Kota Teknologi

Tahun 2011 lalu saya dan teman-teman dari Jakarta sempat membuat komunitas sharing seputar IT dan medsos di Surabaya. Saat itu, meski beberapa teman Surabaya sangat welcome, banyak lainnya agak tertutup, seperti anti kepada pihak luar. Acara blogger Surabaya ya harus izin dan mengajak dedengkot blogger Surabaya untuk menjadi panitia. Namun, itu dulu—Surabaya dulu sangat sulit “dimasuki”. Sekarang, Surabaya sangat berbeda.

Selama ini Surabaya tidak pernah diperhitungkan sebagai “kandang” pelaku IT atau startup di Indonesia, apalagi Silicon Valey. Selama ini yang disebut wadah geeks di Indonesia adalah Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta. Akan tetapi berita gembira saya dengar saat menghadiri Geekfest 2017 pada 21 Mei 2017 lalu di Surabaya. Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, mengatakan bahwa Surabaya bakal jadi tuan rumah Startup World Nation Summit 2018. Wali kota fenomenal ini berhasil meyakinkan dewan panitia SWNS, mengalahkan Istanbul, Turki, pesaing utama Surabaya sebagai calon tuan rumah.

Siapa sangka kota yang tak pernah diperhitungkan di bidang IT kini dilirik secara internasional? So, supaya tidak ketinggalan kemajuan teknologi, khususnya startup, masukkan Surabaya dalam bucket list wisatamu di tahun 2018.

Surabaya, Kota Instagrammable

Jarang ada yang memasukkan Surabaya dalam bucket list lokasi hunting foto atau lokasi wisata. Mungkin karena 7 tahun lalu Surabaya masihlah kota yang panas, gersang, ruwet, semrawut. Namun, siapa sangka kota Pahlawan yang panas dan semrawut itu kini bisa menjadi kota yang instagramable?

Coba lihat hasil hunting saya atau fotografer Surabaya lainnya tentang Surabaya.

* * *

Pernahkah kamu bertemu seseorang yang terlihat galak dari luar, tetapi lincah, tegas, dan baik di dalamnya? Itulah Surabaya yang underrated yang sekarang saya kenal. Surabaya yang hot (pun intended), rapi, dan layak huni. Surabaya baru yang mungkin tak disangka sangat istimewa. Surabaya berani yang selalu percaya diri. Surabaya yang tak seperti yang kamu duga.[]

Leave A Reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini