Setelah 10 jam perjalanan Jakarta–Wonosobo yang lumayan menguras lelah di kursi empuknya bus AC ekonomi dengan tarif hasil tawar menawar Rp90.000/orang, tepat pukul 8.00 pagi kami sampai dengan selamat di Terminal Mendolo, Wonosobo. Puji syukur, cuaca pagi di Terminal Mendolo, 5 Agustus 2017, itu menyambut kami berlima dengan sangat bersahabat. Matahari bersinar cerah tapi tidak panas. Angin bertiup lembut menerpa ransel-ransel penuh sesak di punggung kami.

Begitu sampai di Terminal Mendolo, kami langsung keluar mencari bus arah Semarang/Magelang. Berbekal pengetahuan dari hasil blog walking, dari Terminal Mendolo kita hanya perlu langsung lanjut bus arah Semarang/Magelang dan turun di seberang jalan basecamp pendakian Jalur Garung. Benar saja, tidak butuh waktu lama kami langsung menemukan bus arah Magelang, dan melihat penampakan kami dengan tas-tas besar di punggung, bapak kondektur langsung paham.

“Mau ke Sindoro atau Sumbing, Mbak?” tanya bapak kondektur dengan logat jawanya yang medok tenan.

Saya yang sedikit banyak bisa berbahasa Jawa pun menimpali dengan tidak kalah medok, “Sumbing, Pak. Basecamp Garung. Pinten nggeh, Pak’e?”

Dasar memang perempuan, ya, kalau belum menawar belum puas. Akhirnya, tarif Mendolo–Garung pun dapat harga Rp10.000/orang. Ternyata, dari Terminal Mendolo, Basecamp Garung sudah tidak terlalu jauh. Sekitar 30 menit kami sudah sampai di seberang jalan menuju basecamp. Dari jalan raya ke basecamp juga tidak terlalu jauh, kami berlima menghabiskan waktu 15 menit jalan santai ditemani adik-adik asli Garung yang baru pulang sekolah.

Kami sampai lebih dulu di basecamp itu dibanding 2 teman yang berangkat dari Yogya. Mereka adalah sahabat yang baru kami kenal secara tidak sengaja di pendakian Merapi, Januari lalu.

Sampai basecamp, kami melakukan registrasi dengan biaya Simaksi Rp15.000/orang. Registrasi di Sumbing via Garung ini sangat rapi. Begitu selesai registrasi kami langsung dibekali 1 buah karung plastik, tali rafia (ini peringatan secara halus, ya: jangan lupa bawa turun sampahmu, hai, anak muda) dan 2 lembar kertas HVS yang berisi “Do’s and Don’ts di Gunung Sumbing” serta peta Jalur Garung yang ternyata punya 2 rute, Garung Baru dan Garung Lama.

Setelah selesai registrasi dan mendiskusikan jalur mana yang akan dipilih, kami memesan nasi goreng—tidak lupa teh manis hangatnya—ke ibu pengelola basecamp. Udara beranjak lumayan dingin, maka rasanya teh manis hangat jadi teman yang pas, kayak kamu yang paling pas nemenin hidup aku. Eh.

Basecamp Gunung Sumbing
Basecamp Sumbing. (Foto: Titi)

Sembari menunggu si ibu memasak, kami bergantian mandi. Badan sudah ngga karuan lengketnya setelah kurang lebih 10 jam perjalanan.

Sekitar pukul 10.00, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, 2 anak muda tanggung asal Makassar yang berkuliah di Yogya. Setelah personil lengkap, kami mulai membongkar ransel dan packing ulang, supaya beban di ransel terbagi adil dan makmur, he he.

Pukul 13.30, usai registrasi, makan, mandi, dan solat, kami bertujuh, 3 cewek 4 cowok ini memulai berdoa bersama dan naik ojek ke Pos 1.

Ojek Gunung Sumbing
Naik ojek ke Pos 1, penumpang di depan. (Foto: Titi)
Ya, untuk menghemat tenaga dan waktu, kami memutuskan naik ojek trail seharga Rp25.000/orang. Sejujurnya, ini bakal menjadi pengalaman paling tidak terlupakan. Adrenalin naik ojeknya ngalah-ngalahin naik roller coaster di Dufan. Jadi, naik ojek ini strukturnya agak beda dari ojek biasanya. Penumpangnya di depan, dipeluk mesra sama abang ojeknya. Kurang romantis apa coba, kan?
 
Waktu awal mau naik, saya sempat menawar ke abangnya, “Mas, ndak bisa di belakang aja, to, akunya?”
 
“Walah, Mbak, nanti malah jatuh Mbaknya kalau di belakang. Ini udah yang paling aman,” kata masnya dengan penuh keyakinan.
 
Benar saja, treknya beneran bikin jantung pengin meloncat keluar. Ngeri-ngeri sedap gimana gitu naik motor trail di jalanan penuh batu-batu dengan kemiringan 60 derajat, ditambah jurang di sebelah kanan. Sepanjang 20 menit di ojek saya cuma bisa pucat pasi sambil komat-kamit berzikir.
 
Sesampainya di Pos 1, rombongan anak muda kekinian ini malah asyik update instagram story dulu mumpung masih dapat sinyal. Pukul 14.00, kami bertujuh akhirnya memulai pendakian yang sesungguhnya.
 
Baru sekitar 15 menit berjalan, napas kami mulai putus-nyambung macam hubungan kita. Eh. Trek dari Pos 1 ke atas beneran tanjakan tanpa ampun, tanpa jeda, jadi sangat tidak heran kalau geng kami berjalan super lambat macam kura-kura keberatan tempurung. Berkali-kali kami break, bagi-bagi camilan, keluar-masukin botol minum.
 
Sumbing via Garung Lama, kamu luar biasa!
 
Pos 1 ke Pos 2 Gunung Sumbing
Dari Pos 1 ke Pos 2, jalur masih rapat dengan pepohonan besar dan masih berupa tanah liat padat bersahabat, walaupun menanjak tanpa ampun. (Foto: Titi)

Sepanjang Pos 1 sampai Pos 2, jalur masih cukup rapat dengan pohon-pohon besar dan masih berupa tanah liat padat bersahabat, walaupun menanjak tanpa ampun. Selepas Pos 2 Gatakan, tidak lama kemudian kita akan bertemu dengan plang bertulisan “Tanjakan Engkol-Engkolan”. Sungguh ini adalah tanjakan paling tidak terlupakan, paling fenomenal sepanjang beberapa kali saya mendaki. Jalurnya terbuka, dengan struktur tanah merah licin, kering, dan “berdebu maksimal”. Sangat sedikit pepohonan, jadi dijamin lewat tanjakan ini bakal galau luar biasa mau pegangan apa.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya terus merayap naik. Beneran merayap di tanah merah berdebu yang licin luar biasa ini. Salah-salah pijak, saya bakal gelundungan ke bawah menimpa teman-teman lain. Di tanjakan itu saya berkonsentrasi sangat penuh. Meleng sedikit, nyawa taruhannya.

Tanjakan Engkol-Engkolan Gunung Sumbing
Meninggalkan Pos 2 Gatakan. (Foto: Titi)

Setelah rasanya pengin menangis sepanjang tanjakan, akhirnya nemu tanah cukup rata yang sangat lumayan buat istirahat. Kurang lebih bisa menampung 2–3 tenda. Di tempat inilah saya melihat sunset paling tidak terlupakan seumur hidup saya.

Rasanya sudah biasa melihat matahari malu-malu tenggelam di batas cakrawala, tetapi pemandangan kali ini sungguh lain dari yang biasa. Ini menjadi sunset paling indah yang saya pernah nikmati dari ketinggian. Matahari perlahan tenggelam seperti ditelan gumpalan-gumpalan awan putih. Ini momen paling membikin speechless seumur hidup saya. Setelah lelah tak terkira dengan lutut bergetar hebat, pemandangan ini yang saya dapat. Ini mungkin makna sesungguhnya dari peribahasa “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”, atau dari kalimat paling sakti, “tidak ada perjuangan yang sia-sia”.

Kami tidak berniat mendirikan tenda di tempat ini. Berkejaran dengan cahaya mentari, kami terus mendaki mencari lapak yang cukup luas. Kabarnya ada tanah lapang yang bisa menampung cukup banyak tenda dan punya banyak pohon besar tepat sebelum Pestan.

Kebanyakan pendaki memilih camp di Pestan, tapi kami tidak. Perlu diketahui, Pestan merupakan tanah lapang gundul tanpa pepohonan, jadi sangat berbahaya kalau sampai—amit-amit—nanti ada badai. Karena alasan itu, kami memilih camp di cekungan sebelum Pestan.

Sekali lagi dengan mengucap syukur sedalam-dalamnya kami tiba di camp tepat saat matahari mulai benar-benar menghilang. Ini jadi perjalanan pendakian yang baru sampai camp saja mata sudah dimanjakan dengan pemandangan luar biasa cantiknya.[]

Leave A Reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini