Warung kopi yang semula tenang itu mendadak riuh dengan kehadiran kami berenam, tetapi sekelompok kecil bapak-bapak di sudut ruangan itu tidak tampak terganggu sama sekali. Barangkali memang seperti inilah sewajarnya sebuah kedai kopi: ramai dengan perbincangan, pertemuan, dan pertukaran pikiran.
Sang ibu pemilik kedai mulai meracik kopinya bahkan sebelum kami menyampaikan pesanan.
Tiga sendok teh bubuk kopi dilemparkan ke dalam masing-masing cangkir mungil berbahan keramik. Dua sendok teh gula mengikutinya, tertumbuk di dasar cangkir. Air panas dituang lembut, jangan sampai terlalu banyak. Beberapa detik kemudian, cairan hitam pekat dengan asap mengepul itu sudah mengisi setiap cangkir kami. Tak perlu menunggu banyak adukan, cangkir-cangkir itu segera dihantarkan mendarat di atas meja kami.
Aneh, meski nama Warung Kopi Pak Gendut terpampang besar-besar di depan kedai, kami sama sekali tak melihat sosok pria tambun sedang sibuk di balik meja racik. Sang istri menggantikan tugasnya. Lokasinya berada persis di sebelah Klenteng Gie Yong Bio yang juga disebut Klenteng Babagan; Menjadikannya tempat menggugah semangat sebelum memulai petualangan di Tiongkok Kecil, atau sebaliknya, menjadikannya tempat rehat usai agenda mengelilingi kota seharian.
Kami duduk terpisah di pagi menjelang siang itu, terbagi dalam dua kelompok kecil, menyesuaikan sisa-sisa ruang yang ada di warung kopi. Namun tak mengapa. Bukankah, sekali lagi, warung kopi adalah sebuah tempat pertemuan dan perbincangan?
Aku mengamati secangkir Kopi Lasem panas yang bergeming di hadapanku. Sejak pertama disajikan di Pesantren Kauman pada hari sebelumnya, kopi-kopi ini selalu disajikan dalam sebuah wadah yang sama. Cangkir mungil, berbahan keramik, berbalut gambar bunga-bungaan. Dalam dua atau tiga seruputan, kopi akan tandas, menyisakan lapisan ampas lembut yang mengendap di dasar cangkir.
Rupanya, kopi Lasem memang harus disajikan dalam cangkir ini, yang mungil, yang hanya mampu menampung dua atau tiga tegukan. Jika tidak, cita rasanya akan berubah. Untukku yang biasa menikmati kopi dalam sebuah cangkir besar tentu membutuhkan hingga dua cangkir kecil lagi untuk memuaskan hausku akan nikmatnya kopi.
Kopi Lasem juga sebaiknya diracik dengan gula kampung yang warnanya kecokelatan. Bukan produk gula bermerek yang warnanya putih bersih.
Tidak seperti kopi-kopi lainnya, secangkir Kopi Lasem akan benar-benar dihabiskan oleh sang pemilik. Termasuk endapan ampasnya. Bukan, bukan untuk dimakan, tetapi dipakai nglelet atau mbatik.
Ampas kopi selembut pasir itu dituang ke atas tatakan, lalu diratakan. Jika perlu, tambahkan sedikit susu kental manis untuk memadatkannya. Beri lembaran kertas tisu secukupnya untuk mengurangi kadar airnya. Gunakan tusuk gigi atau lidi, lalu goreskan sesuai selera pada batang rokok. Buatlah pola tertentu, seperti batik, agar hasil nglelet menjadi lebih artistik.

Jika terlalu malas untuk menciptakan hasil lelet yang rumit dan sukar, gunakan saja sendok teh yang tersedia, balurkan ampas kopi dengan hati-hati pada permukaan batang rokokmu. Ratakan hasil polesan kopi pada batang rokok agar jangan mengeras terlalu tebal.
Budaya unik ini adalah hal yang biasa bagi para bapak dan pemuda Lasem. Biasanya, para penikmat kopi adalah seorang perokok sekaligus. Cita rasa Kopi Lasem yang pekat meresap ke dalam rokok melalui lapisan tipis pembungkusnya. Dengan ramah, bapak-bapak itu membimbing rekanku, Zaim, yang agak kesulitan melukis batang rokoknya dengan ampas kopi.
Sayangnya aku bukan seorang perokok. Aku hanya mengamati Zaim menghisap batang rokoknya yang sudah berpadu dengan cita rasa Kopi Lasem. Katanya, kopi terasa lebih kuat, dengan cita rasa kopi yang merangsek ke dalam setiap isapan.
Tak heran, Kopi Lasem juga dikenal dengan sebutan kopi lelet. Jika kau tak memiliki masalah kesehatan pada lambung atau jantung, menyesap secangkir Kopi Lasem dan mengkreasikan ampas lembutnya adalah sebuah pengalaman budaya yang sebaiknya tidak kaulewatkan. Konon, biji kopi yang sudah digoreng kemudian digiling hingga lima atau enam kali, menciptakan serbuk kopi yang lembut seperti pasir.
Aku suka dengan karakteristik rasa yang ada pada Kopi-lelet Lasem. Pekat, agak pahit, namun tidak asam. Penyajiannya dengan gula pasir mengingatkanku pada minuman serupa di daratan Indocina, Kopi Vietnam (Cà Phe Dên).

Pagi menjelang siang itu kunikmati kopiku dengan “hasil buruan” dari Pasar Lasem. Kue-kue jajanan pasar memang tepat menjadi pendamping minum kopi. Yang paling populer sekaligus khas adalah dumbeg. Penganan ini terbuat dari tepung beras, gula aren, legen (air sadapan nira), dijejalkan dalam wadah berbentuk kerucut panjang dari daun lontar. Aromanya khas, teksturnya kenyal, rasanya manis menggoyang lidah.
Tak perlu merogoh lembar demi lembar rupiah untuk dapat menikmatinya. Secangkir Kopi Lasem biasanya dihargai hanya Rp3.000. Oh, harganya bahkan masih lebih murah dibanding harga kopi seduh di Bandung atau Jakarta, yang menggunakan produk kopi saset, disajikan dalam gelas plastik bekas air mineral kemasan.
Selain Warung Kopi Pak Gendut yang terletak di Jalan Babagan ini, ada beberapa kedai kopi lainnya yang bisa menjadi jujugan. Sebutlah Warkop Pak John di Desa Soditan, Roemah Oei, dan Warkop Mak Cik di Bagan. Tak perlu sungkan untuk menanyakan alamat kepada warga lokal, mereka bukan penipu atau pencari untung. Sebagai sebuah kota kecil, warga Lasem begitu mengenali navigasi kotanya.
Jika ingin membawa kenikmatan Kopi-lelet Lasem sebagai buah tangan, belilah beberapa bungkus Kopi Lelet Mlete. Produknya dapat diperoleh di Jalan Jatirogo-Pancur RT 02/05, Karangturi, Lasem, Rembang. Bahkan, pembeli kini dapat memesannya melalui jaringan toko daring tanah air. Harganya pun sangat terjangkau, hanya Rp25.000 untuk satu pak kemasan 250 gram.
Matahari mulai beranjak naik menduduki puncak singgasananya di langit Lasem. Kami menyudahi kunjungan di Warung Kopi Pak Gendut, mempersilakan pelanggan lainnya menempati kursi-kursi yang semula kami duduki.
Kopi Lasem menorehkan kesan istimewa dalam bilik-bilik memoriku. Ia tak hanya larut dalam secangkir air panas, mengalir ke dalam lambung, dan meninggalkan ampas yang tak berguna di dasar cangkir. Kopi ini menjadi jembatan hangat yang menghubungkan setiap orang di sini: antarwarga dan antara mereka dengan pengelana. Berkat secangkir kecil Kopi Lasem, kebekuan luruh, dan bertransformasi menjadi sebuah interaksi yang penuh.
Sungguh, inilah salah satu budaya Lasem yang harus tetap dipegang teguh.[]