Hari masih pagi saat kami tiba di Pantai Nongsa. Belum ada penjaga pintu gerbang yang biasa memungut uang masuk dari pengunjung. Pantai di ujung utara Pulau Batam itu masih sepi, hanya satu-dua orang saja yang tampak di tengah lautan. Tunggu. Tengah lautan?
Oh, air laut sedang surut, hingga hampir semua sampan—masyarakat setempat menyebutnya pompong—berada jauh di tengah lautan. Menjangkaunya hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki.
Kami tengok kanan-kiri, mencari-cari penambang pompong—si pengemudi. Tak seorang pun kami temukan. Biasanya mereka duduk-duduk di pantai, menanti pengunjung. Akan tetapi itu kalau air pasang, sedang sekarang laut tengah surut. Kami putuskan berjalan kaki menuju pompong terdekat. Dasar laut terlihat jelas, hanya sedikit air menggenanginya. Namun, gulung celana panjangmu atau kamu akan kebasahan.
Rasanya hangat saat kaki menyentuh air. Saya mendongak. Matahari sudah meninggi, sinarnya mulai membakar pantai hingga terasa benar butir-butir pasir menggelitik telapak kaki. Sesekali langkah terjerat rimpang, sejenis tanaman laut, dan kaki kadang terperosok dalam pasir saat tak hati-hati. Saya tertinggal di belakang, empat kawan lain telah berjalan mendahului. Kami melangkah saling berjauhan, tetapi kepala sama-sama tertunduk, mencari-cari pijakan terbaik.
“Aaaa…,” Novi berteriak. Semua kepala terangkat dan menengok ke sumber suara. Ada apa?
“Aku nemu gonggong!” serunya girang. Gonggong, sejenis siput laut, konon hanya dapat ditemukan di perairan Kepulauan Riau (Kepri), entah itu di Batam, Tanjungpinang, Bintan, atau Balai Karimun. Gonggong biasa diolah dengan cara direbus, lalu dinikmati dengan sambal kacang yang pedas. Sedap. Menu ini perlu jadi santapan wajib jika mengunjungi Kepri.
Novi mengumpulkan gonggong sambil berjalan menuju pompong, diikuti ketiga kawan lainnya yang juga mulai mencari-cari. Bisa jadi oleh-oleh untuk anak-anak kosan, katanya. Saya tersenyum saja.
“Ke Pulau Puteri, Kak?” sebuah suara mengagetkan. Kami menoleh ke arah suara. Seorang pria bertopi berdiri tak jauh dari kami. “Itu pompongnya kalau mau ke sana,” katanya sambil menunjuk pompong yang memang kami tuju.
“Berapa, Pak?” tanya Meri, seorang kawan.
“Biasanya Rp10.000 seorangnya, tapi karena sekarang tak ramai, jadi kasih Rp100.000 sajalah untuk bolak-balik,” jawab bapak itu.
Kami mengiyakan tanpa menawar lagi. Seratus ribu dibagi berlima berarti seorang Rp20.000, hanya lebih mahal Rp10.000 dibanding hari biasanya. Lagi pula ongkos sebesar itu tidak hanya untuk berangkat, tetapi sekaligus untuk pulang.
Bapak itu memberikan nomor ponselnya yang kemudian dicatat Novi. Kapan hendak pulang, hubungi nomor itu dan ia akan datang menjemput. Segera setelahnya bunyi mesin pompong memenuhi udara. Semilir angin menyibakkan rambut. Air memercik dari kiri dan kanan, memaksa kami bergeser duduk ke tengah.
Selang tak lama, Pulau Putri mulai tampak jelas di hadapan. Pulau ini merupakan satu dari 92 pulau terluar Indonesia, berjarak hanya 13 km dari Pantai Changi, Singapura dan 16 km dari Johor, Malaysia. Dari Batam cuma 1 km saja jauhnya—hanya sepuluh menit bersampan.
Rasanya singkat sekali dan tiba-tiba kami sudah harus turun lagi dari pompong. Karena laut surut, pompong berhenti cukup jauh dari bibir pantainya yang tanpa dermaga. Selanjutnya kami tapaki batu-batu karang warna-warni lalu melompati bebatuan pemecah ombak yang berbaris di tepian pulau seperti pagar betis. Sepi. Hanya ada satu-dua kelompok pejalan saja di sini. Tentu saja, ini hari kerja. Penduduk Batam yang kebanyakan adalah para pekerja pasti tengah berjibaku menggeluti tugas-tugas mereka pada jam-jam sibuk ini.

Pulau Putri ini tak berpenghuni. Luasnya hanya sekitar 300 meter persegi. Karena sekarang bukan akhir pekan, tak ada pedagang makanan yang biasanya rutin datang untuk berjualan. Pondok-pondok makanan itu tutup. Mumpung sepi, kami segera berswafoto. Mengabadikan kebersamaan itu wajib saat berwisata. Kami bisa tertawa lepas haha-hihi di sana.
Setelah puas berfoto di tepi pantai, kami berkeliling. Pulau Putri merupakan pulau yang panjang. Akan tetapi itu hanya terjadi saat air laut surut. Ketika air pasang, daratan Pulau Putri terbagi menjadi tiga bagian, seakan-akan ia gugusan kepulauan.
Terdapat sebuah menara suar di pulau ini yang memancarkan tanda bagi para pelayar dan nelayan, bahwa mereka memasuki wilayah laut Indonesia. Di bawahnya ada semacam prasasti bertuliskan koordinat pulau.
Hanya beberapa langkah dari batu itu ada sebuah hutan kecil. Pohon-pohonnya berjarak, seperti sengaja dirapikan untuk tempat wisata. Tanahnya, di beberapa titik, menghitam—sisa-sisa api unggun. Pulau Putri memang kerap digunakan sebagai area camping, terutama saat pergantian tahun. Berbondong-bondong orang datang menjelang petang untuk bermalam, lalu pulang keesokan harinya. Karena tidak ada tempat penyewaan peralatan berkemah di sana, mereka harus membawa tenda sendiri. Lain halnya jika mereka mau duduk sepanjang malam nongkrong di pondok-pondok makan—pondok-pondok itu buka tiap malam pergantian tahun tiba. Untuk menghangatkan badan dan mengusir serangga serta binatang, api unggun mereka nyalakan.
Masyarakat setempat sebenarnya tak menyarankan bermalam di pulau itu. Banyak cerita menyeramkan beredar tentangnya. Salah satu yang terkenal adalah kisah seorang putri patah hati yang kemudian menjadi “penghuni”, karenanya pulau itu dinamai Pulau Putri. Konon, banyak orang sering melihat kemunculannya di pulau itu.
Sang Putri bersetia menanti kekasihnya yang tak kunjung tiba di sana. Lalu lahirlah mitos, pasangan yang sedang berpacaran tidak boleh datang ke sana, sebab Sang Putri akan cemburu dan mengambil si pria untuk dijadikan kekasihnya.
Mumpung air sedang surut, kami menjajal berjalan menuju ujung pulau yang lain. Sejauh mata memandang, lautan luas terhampar. Sesekali, kapal-kapal besar lewat. Itulah kesibukan Selat Singapura. Kami nikmati saat-saat itu dengan bersantai, bersenda-gurau, dan, tentu saja, berfoto ria. Sampai kemudian Meri melihat sebuah pompong mendekat. Baru pukul 13.00 WIB. Hari masih siang, dan kami pun belum menelepon bapak penambang pompong untuk menjemput. Kenapa ia datang?
Kami segera beranjak menuju titik awal kami tiba. Oh, air laut mulai pasang! Ini artinya pulau ini akan segera “membelah diri”. Mengingat itu, kami bergegas berlari. Air laut berkecipak riuh di antara lompatan kaki, tetapi suaranya tetap kalah oleh derai tawa kami, menertawai kegugupan menerobos rimbun bakau sebelum pulau ini “membelah diri”. Lambat laun hanya suara nafas memburu yang terdengar. Setiap orang seakan berkata, cepatlah, cepat!
Langit terang benderang. Matahari tepat di atas kepala. Riuh ombak seperti menahan kami untuk tetap tinggal dan bersantai, tetapi bapak bertopi itu sudah menunggu di bibir pantai. Wajahnya tampak waspada.

“Cuaca tak bagus,” ujarnya begitu kami mendekat, “makanya saya datang jemput.”
Terang benderang begini tak bagus? Kami enggan percaya, kami juga belum puas, tapi ia memaksa. Baiklah, kami ikut saja.
Pompong berjalan meninggalkan Pulau Putri. Di tengah perjalanan, rintik hujan mendera. Kilat menyambar beberapa kali. Suasana mencekam. Pulau Puteri mulai menghilang ditelan kelam. Sejenak kemudian, kami disambut rinai hujan setiba kembali di Pantai Nongsa. Bergegas, kami berlari menuju pondok terdekat. Meski jaraknya hanya sepuluh langkah, tetap saja kami basah.
Saya cari-cari bapak penambang pompong tadi, hendak membayar ongkos. Ia keluar dari dalam pondok dengan secangkir kopi. Kepadanya saya serahkan sejumlah uang yang telah kami sepakati.
“Makasih, Pak, sudah dijemput. Kami tak tahu di sini hujan.”
Bapak itu tersenyum sambil menyeruput kopinya. Ia bilang, cuaca di pulau itu memang tak bisa diprediksi. Di Pantai Nongsa terang, di Pulau Putri ternyata ada badai, atau sebaliknya. Bagaimana pun itu, jika di tengah laut ada badai, kapal tak akan bisa ke mana-mana.
“Saya tak mau ambil risiko. Sudah ada banyak cerita tentang pulau itu,” katanya.[]
keren!