Perjalanan dari Kota Serang sampai Alun-alun Pandeglang lancar jaya. Jalanan lurus itu tak ada macet. Dari alun-alun dilanjutkan ke arah barat sampai tiba di Desa Sikulan, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang, Banten. Saya turun dari motor bersama beban ransel di punggung yang setia menemani perjalanan. Pantat panas, pinggang pegal, dan kaki kesemutan. Ya, perjalanan selama 2 jam lebih dari Kota Serang ini menggunakan motor. Kali ini saya akan mendaki Gunung Aseupan bersama Ilham, Bila, Mela dan Riezky.
Kami beristirahat di rumah Pak Jejen (bukan nama sebenarnya), untuk sedikit meregangkan otot kaki sebelum pemanasan dan mendaki Gunung Aseupan. Rencananya kami akan mendaki Gunung Aseupan tanpa menginap, begitu sampai puncak kami akan kembali lagi, kami menyebutnya dengan istilah ‘tek-tok’. Seusai pendakian Gunung Aseupan kami akan mendaki Gunung Pulosari yang masih bertetangga dengan Gunung Aseupan.
Berhubung perut masih kenyang karena sempat makan di Alun-alun Pandeglang (di sana banyak sekali warung angkringan yang enak buat makan), kami memutuskan langsung mendaki tanpa mengisi perut lagi. Seluruh ransel dan perlengkapan kami titip di rumah Pak Jejen. Beliau tidak keberatan. Kami hanya membawa 2 daypack untuk membawa jas hujan, minum, bekal, flysheet dan seperangkat alat navigasi.
Kami berjalan di perkampungan yang bangunan-bangunan rumahnya tidak berapatan, alias tersebar, dan terkadang jauh-jauh. Desa ini terasa lengang. Penduduknya kebanyakan di kebun atau di sawah. Di sini tidak ada pos pendaftaran sebelum mendaki, tidak ada karcis, alias gratis. Ya, Gunung Aseupan memang belum ada yang mengelola, sehingga belum dikomersilkan. Pamornya juga biasa saja. Berbanding terbalik dengan Gunung Pulosari yang sudah mahsyur di kalangan pendaki gunung. Bayangkan, saat ini saja, hanya kami yang mendaki Gunung Aseupan.
Nama Gunung Aseupan diambil dari alat penanak nasi tradisional yang berbentuk kerucut terbuat dari bambu yang dianyam, aseupan – bahasa Sunda. Jika aseupan itu dibalik, maka bentuknya seperti gunung yang mengkerucut. Kamu pasti tahu, kan, nasi tumpeng? Nah, seperti itulah bentuk nasi kalau dimasak dengan aseupan. Mungkin karena persamaan bentuk itulah gunung ini dinamakan Gunung Aseupan.
Setelah rumah terakhir yang terbuat dari kayu, yang di halamannya terdapat kolam ikan – masyarakat menyebutnya balong, kami mulai memasuki pepohonan yang lebat. Jalan setapaknya kecil.
Perjalanan mulai menanjak. Selama satu jam pendakian, kami hanya menyusuri jalanan setapak yang terlihat jelas karena setiap hari digunakan warga yang pergi ke kebun. Di kiri kanan kami banyak pohon cengkih. Rumput disekitar pohon cengkih dibabat sampai bersih, tanda cengkih siap panen. Saya sempat melihat seorang bapak setengah paruh baya tengah membersihkan rumput-rumput, di sampingnya ada seunggukkan singkong yang sepertinya baru diambil. Saya sempat menyapanya lewat senyuman saat dia melihat kami.
Setelah tanaman cengkih terakhir, vegetasi selanjutnya lebih rapat dan rimbun. Namun jalanan masih jelas, hanya saja kecil. Pendakian makin menanjak dan terjal. Di Gunung Aseupan tidak ada pos-pos peristirahatan seperti gunung-gunung populer lainnya. Kami istirahat di tempat-tempat yang sedikit datar.
Kami sempat membuka peta untuk memastikan posisi. Setelah yakin, perjalanan dilanjutkan. Saya sempat iseng mengerjai Mela, perempuan satu-satunya di tim, dengan menceritakan kalau ada seorang kakek tua tak kasat mata yang mengikutinya selama perjalanan dari Desa Sikulan. Ia ketakutan dan terus menanyai saya, “Masa, sih? Yang benar, ah! Jangan bikin takut, deh!”
Namun saya harus mengakui kebohongan itu setelah mendapatkan banyak semprotan dari Ilham, Bila dan Riezky. “Di gunung yang sepi seperti ini jangan bikin cerita-cerita yang nggak-nggak! Ntar kualat!”
“Okeh, okeh!”
Dari tempat istirahat terakhir, kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak yang makin menanjak. Selain itu, jalur pendakian sangat sempit dan kecil, di kiri dan kanan jurang menganga. Jadi kami berjalan tepat di atas punggungan yang tipis. Jatuh ke kiri masuk jurang, jatuh ke kanan masuk jurang. Jadi harus hati-hati dan tetap rapatkan barisan, supaya kalau ada yang kenapa-kenapa semua langsung tahu.
Sesekali jalanan tertutupi ranting dan semak yang menjalar. Makin jelas kalau gunung ini teramat jarang didaki. Di tengah perjalanan kami menemukan batu besar yang menghalangi jalur. Kata Riezky batu ini disebut ‘batu unta’. Setelah saya perhatikan memang batu itu bentuknya menyerupai unta yang tengah duduk. Ada dua gundukan di punggungnya. Akibat adanya batu unta, kami harus jalan memutar yang sempit dan berpapasan dengan jurang.
Setelah lama kemudian, kami akhirnya memasuki jalur yang terbuka. Liukkan punggungan dan lembah-lembah di seberang terlihat memesona dan mengagumkan. Pepohonan seakan merumput, membuat seluruh pemandangan menjadi hijau tua. Sejumput kabut menyelimuti di beberapa titik. Membuat saya merasa ciptaan Tuhan ini tiada duanya. Saya sebenarnya ingin berteriak seperti orang-orang kalau menemukan tempat indah, tapi takut dicap norak oleh kawan-kawan lainnya. Baiklah, saya hanya menahan dan berteriak dalam hati. Aaaa!
Jalur yang kami lintasi berubah total. Kami berjalan beriringan di atas tumpukkan paku andam. Tidak ada pohon untuk berpegangan. Saya merasa seperti kutu yang berjalan di atas kepala yang baru dicukur tipis. Terasa merinding karena jurang terlihat jelas, sekaligus membahagiakan karena ini adalah pertama kalinya bagi saya.
Yang tak kalah menakjubkan adalah, banyak kantung semar tumbuh dan bertetangga baik dengan paku andam. Tanaman yang memiliki nama latih nepenthes gymnaphora ini saya temui di sepanjang jalur andam. Semoga tidak ada pendaki yang usil mengambilnya atau berharap dapat tumbuh di rumahnya, supaya tanaman langka ini terus tumbuh dan berkembang biak.
Hap! Saya menapaki kaki di puncak Gunung Aseupan di ketinggian 1.174 mdpl. 6 jam saya lalui untuk mendaki gunung ini. Puncaknya memang kecil, bahkan mungkin tidak bisa untuk memasang tenda, tapi pemandangannya mahaluas. Kita bisa melihat seluruh pemandangan 360 derajat. Berasa lagi di kutub, ya?
Oya, ada satu hal unik sekaligus mengundang tanya dan bikin merinding di puncak gunung ini, yakni ada sebuah makam. Makam itu memiliki batu nisan yang ditutupi kain kafan dan dikelilingi batu kecil sehingga permukaannya yang tidak terlalu timbul dapat jelas diidentifikasikan sebagai makan. Saya menemukan daun kelapa yang dianyam menyerupai bunga dan beberapa taburan bunga yang sudah mengering, sepertinya itu bekas sajen atau ziarah, entahlah. Saya juga tidak tahu. Saya juga tidak tahu ini makam siapa? Dan apakah ini betul-betul makam atau hanya petilasan? Tapi saya tidak berpikir sama sekali untuk menggalinya hanya demi membuktikan kalau di dalamnya terdapat seonggok tengkorak. Nanti setelah turun dan tiba di desa, saya akan menanyakan tentang makam ini ke Pak Jejen atau warga. Selain puncaknya yang sempit, kehadiran makam ini adalah alasan lain untuk berpikir berkali-kali menginap di puncak Gunung Aseupan. Mungkin kamu tertarik menginap di puncak gunung ini? Sepertinya untuk tidur satu orang sangat muat.

Kami memuaskan nafsu narsisme dengan berfoto-foto. Mulai dari perorangan, berpasang-pasangan, sampai bersama-sama. Setelah itu, kami membuka perbekalan dan menikmatinya. Dilanjutkan salat – bagi yang salat, sih. Terakhir, apalagi kalau bukan turun.
Jika mendaki membutuhkan waktu 6 jam, perjalanan turun hanya 3 jam kami habiskan. Kami tiba di rumah Pak Jejen. Minum air dan duduk leyeh-leyeh sebelum melanjutkan perjalanan ke desa awal pendakian Gunung Pulosari.
Ada kabar tak mengenakan dari llham. Ponsel cerdas yang ia simpan di kantung kepala ranselnya tidak ada. Berkali-kali dicari. Sampai kami membantunya membedah seluruh isi ranselnya. Ponsel itu tidak ada. Saya mengusulkan agar coba menanyakan kepada Pak Jejen. Bukan bermaksud menuduhnya, tapi tidak ada salahnya mencoba bertanya. Barangkali Ilham sempat menggeletakan ponselnya dan merasa menaruhnya di ransel, lalu Pak Jejen menemukannya dan mengamankannya. Bisa saja begitu, kan?
Ilham memberanikan diri menemui Pak Jejen di belakang dan menanyakannya. Saya menemaninya. Namun, Pak Jejen mengaku tidak melihat ponsel Ilham. Okeh, kami tidak mau mempertanyakan lebih jauh, khawatir Pak Jejen menduga kami menuduhnya.
Baiklah, mau tak mau Ilham harus merelakannya. Meskipun kami merasa janggal bagaimana bisa barang yang disimpan di ransel bisa raib, namun kami tidak mau menuduh siapa-siapa. Tidak ada bukti dan tidak baik berprasangka buruk. Ini kami jadikan pelajaran.
Kami melanjutkan perjalanan dengan motor menuju kaki Gunung Pulosari yang terdapat pos pendaftarannya. Akibat ponsel Ilham yang hilang, saya jadi lupa menanyakan tentang makam di puncak Gunung Aseupan.[]
Gan ane mau ksana ntar sabtu… Mau nanya parkir motor nya dimana trus tempat untuk diriin tenda ada gk di atas nya
Hallo Denta,
Untuk parkiran di sana belum ada pengelolaan parkir karena memang belum ada pos masuk atau tempat registrasi, Gunung Aseupan belum dikomersilkan. Untuk motor bisa dititip ke warga sekitar, sebaiknya dititip kepada tokoh masyarakat seperti Ketua RT atau Ketua RW, karena lebih aman. Di puncak tidak bisa memasang tenda. tempatnya kecil. Di sepanjang jalan menuju puncak juga hanya punggungan kecil yang berupa jurang di sisi kiri dan kanannya, sangat tidak bisa untuk memasang tenda. kalau pun mau tetap memasang tenda, kamu hanya bisa di awal-awal pendakian yang masih banyak tempat datar dengan sedikit dibersihkan rumput dan tanaman kecilnya.
Semoga membantu ya.
Terima Kasih.
Jalurnya gimana gan ? Ada berapa pos ya ? Terakhir ksana kapan gan ?
Jelas gk jalurnya atau banyak percabangan ?