Januari 2015, saya berkesempatan menjejak Pulau Bali. Tak seperti biasanya, waktu itu saya melakukan perjalanan sendirian.
Ketika sudah lelah merasakan hiruk pikuknya dunia malam di Kuta, saya mencoba mencari ketenangan pagi di Pantai Sanur. Saya pilih Pantai Sanur karena konon pantai ini merupakan tempat terbaik untuk melihat matahari terbit di Pulau Bali. Itu sudah menjadi rahasia umum, hingga tak heran Pantai Sanur menjadi destinasi favorit para pemburu matahari terbit dari seluruh dunia.
Lokasi Pantai Sanur ada di bagian timur Bali. Tidak terlalu jauh dari Kuta, waktu tempuhnya hanya 30 menit. Namun, tentu harus bangun pagi-pagi kalau tidak mau ketinggalan pemandangan matahari terbit. Maka sebelum tidur saya pasang alarm pukul 4.30, dan berkat deringnya saya berhasil bangun pagi.
Saya menginap di Jalan Poppies 2, Kuta. Sehari sebelum memutuskan menginap di tempat berkumpulnya para pelancong itu, saya menyewa sepeda motor. Per harinya Rp50.000. Lumayan murah, apalagi bensin sudah diisi penuh oleh pemberi sewa motor. Pukul 5 pagi itu saya bergegas keluar dari penginapan dan memutar gasnya menuju Sanur.
Jalanan di Bali sepagi itu sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat dan petugas kebersihan yang mulai beraktivitas. Sempat takut, sebab saya tidak tahu jalan, dan ponsel saya tidak dilengkapi GPS. Apa lagi yang dapat saya andalkan selain insting dan papan-papan petunjuk yang bisa ditemui di sepanjang jalan. Kalau sudah bingung, saya akan lambatkan laju sepeda motor dan mencari-cari keberadaan masyarakat sekitar. Di Jakarta biasanya juga seperti itu.
Setelah 30 menit, saya tiba di kawasan Sanur, tetapi tidak menemukan papan bertuliskan “Pantai Sanur”. Saya masih kebingungan menemukan jalan, meski beberapa orang yang saya temui sudah mengarahkan.
“Permisi, pak, Pantai Sanur di mana, ya?” tanya saya pada seorang bapak paruh baya yang saya temui di pinggir jalan. Bajunya sedikit lusuh, tangannya memegang sapu lidi. Sepertinya dia petugas kebersihan.
“Ini Sanur. Pantainya ada di sepanjang timur. Kalau kamu mau lihat sunrise, bisa ke Pantai Matahari Terbit,” ujar bapak itu.
“Lalu saya kemana, pak?”
“Lurus saja, nanti ada lampu merah, kamu ke kanan.”
Saya ikuti petunjuknya. Di tengah perjalanan saya kembali kebingungan, sebab setelah lampu merah pertama tidak ada jalan lain selain yang menuju arah pulang. Saya putuskan untuk jalan terus. Rencana saya, kalau tak menemukan jalan yang dimaksud bapak tadi, saya akan bertanya kepada orang lain atau balik arah: pulang.
Ternyata, di lampu merah kedua, saya temukan jalan yang dimaksud dan melihat cahaya kuning berkilauan membentang di ufuk timur. Sepeda motor pun saya belokkan ke sana, tetapi lagi-lagi keraguan menyergap pikiran saya karena mata menangkap sebuah papan besar bertuliskan “selamat datang di kolam renang” yang saya lupa namanya. Saya putuskan untuk terus melaju. Toh, kalau tersasar, bisa balik lagi ke jalan utama.
Tahukan kalian, apa yang saya dapati di ujung jalan itu? Sebentang panjang pantai tenang dan matahari terbit yang kilau emasnya memancar magis dari balik pura tua. Mahakarya Sang Pencipta yang mengagumkan.
Saya hentikan sepeda motor dekat pura. Tak tampak satu pun kendaraan terparkir di sana. Beberapa jam ke depan, sepeda motor itu akan sendirian, bersetia menunggu tuannya.
Baru dua meter melangkah meninggalkan tempat parkir, kekaguman tak terkatakan merundung perasaan saya. Pemandangan yang tersaji di depan mata pagi itu benar-benar menakjubkan.
Pantai itu sunyi. Tidak ada wisatawan lain. Hanya ada beberapa nelayan yang baru saja pulang melaut setelah semalam mencari ikan. Pasirnya hitam, lembut seperti bubuk kopi. Deretan batu berjajar di bibir pantai, seolah sengaja ditata untuk menjadi tempat memanjakan diri menikmati pagi di tepian laut luas. Seperti dipeluk, saya rasai ketenangan dari semilirnya angin yang berhembus dan hangatnya matahari pagi.
Tenggelam menikmati keindahan itu, saya mendadak antisosial. Sibuk memotret matahari terbit dan berswafoto sampai berkecipak-kecipak di tepi pantai. Tanpa sadar saya telah menjadi perhatian seorang nelayan yang kemudian menghampiri.
“Nak, dari mana? Sendiri aja?”
“Iya, Pak, sendiri aja. Saya dari Jakarta. Ini pantai apa, ya, Pak?”
“Ini Pantai Padang Galak. Kalau yang sebelah sana namanya Pantai Matahari Terbit,” ujarnya sembari menunjuk arah tenggara.
Perbincangan itu berlanjut hingga 20 menitan. Darinya saya peroleh informasi bahwa Pantai Padang Galak merupakan pantai yang jarang dikunjungi wisatawan. Pantai ini biasa digunakan warga sekitar sebagai tempat upacara-upacara besar, seperti Melasti dan Rare Angon. Tak heran jika di sekitar pantai banyak ditemui dupa dan bunga; Dan pantas saja pagi itu sayalah satu-satunya wisatawan yang ada di sana, bebas menikmati terbitnya matahari tanpa “gangguan”.
Pengalaman itu menyadarkan saya untuk tidak takut tersasar. Pergi seorang diri, tanpa buku panduan, peta, bahkan tanpa tujuan yang jelas. Nyatanya, tersasar bukanlah melulu malapetaka, melainkan bisa berubah menjadi berkah tersendiri. Terlebih kalau kita sadar bahwa tersasar adalah seni menemukan potongan-potongan dunia dan diri sendiri.
Saya pernah membaca artikel di blog nonaransel.com. Judulnya The Art of Nyasar. “I don’t believe in getting lost,” kata penulisnya, “I believe in taking a longer way to arrive.” Maksudnya mungkin adalah “aku ngga mengenal kata nyasar; bagiku nyasar berarti mengambil rute yang lebih panjang untuk sampai di tujuan.” Tersasar, mengambil rute lebih panjang di tempat yang asing, membuat kita bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ditemui kebanyakan orang.
Saya sering diwanti-wanti kerabat atau keluarga, “Jangan ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Hati-hati, nanti nyasar. Tidak bisa pulang. Diculik. Dihipnotis…” Dan berbagai kekhawatiran dan ketakutan lainnya. Ketakutan-ketakutan itu bisa memerangkap saya, mengurung dalam sebuah kotak. Kotak sempit “takut kenapa-kenapa” yang akibatnya “tidak ke mana-mana” dan dampaknya “tak tahu apa-apa”, yang ujungnya berpotensi menjadi “tak tahu kalau tak-tahu-apa-apa”.
Pengalaman tersasar membentuk pribadi saya menjadi lebih berani bertualang seorang diri, menginspirasi untuk terus melangkah lebih jauh menjelajah dunia. Seperti Joshua Slocum, kapten berkebangsaan Nova Scotia yang menjadi orang pertama berlayar mengelilingi bumi sendiri—itu harapan saya.
Omong-omong, kalian pernah tersasar jugakah?[]