Bujangga Manik, santri-lelana yang juga seorang pangeran dari Pakuan Pajajaran, menyebutnya Gunung Damalung. Pada tahun-tahun akhir 1400-an ia pernah nyantri beberapa lama di salah satu pertapaan (mandhala) di lerengnya, sebelum melanjutkan kembaranya ke timur, mengelilingi Jawa sampai Bali, untuk menimba ilmu demi menemukan kesejatian diri. Kini, enam ratusan tahun kemudian, kita mengenalnya sebagai Gunung Merbabu.
Sudah beberapa kali saya ziarahi gunung yang dilingkungi empat kota di Provinsi Jawa Tengah ini: Kabupaten Magelang di lereng barat; Kabupaten Boyolali di lereng timur dan selatan; dan Kota Salatiga serta Kabupaten Semarang di lereng utara. Tiap kali menapaki luas hamparan hijau padang rumputnya, diri seperti kecil, lemah tak berdaya, namun serasa terlindungi kelembutan mahahijau yang menjanjikan kenyamanan tak terperi. Sabananya memang selalu menarik dijelajahi. Karena itulah ajakan seorang kawan untuk mendaki Merbabu pada akhir Mei itu nyaris langsung saya iyakan—apalagi ketika ia dan teman-temannya menyetujui “syarat” yang saya ajukan: naik lewat jalur Pogalan, lereng barat daya gunung berketinggian 3.145 mdpl ini.
Desa Pogalan terletak di Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, persis di batas hutan Merbabu. Meski demikian, para pendaki sangat jarang melintasi jalur ini. Mereka lebih sering memilih jalur pendakian lain yang lebih populer: Wekas, Thekelan, Cunthel, dan Selo. Padahal, dibanding jalu-jalur itu, Pogalan merupakan lintasan terpendek untuk sampai ke sabana Merbabu.

Mencarter mobil minibus dari Jakarta langsung menuju desa terdekat dengan titik awal pendakian sebenarnya adalah pilihan yang tepat. Namun kali ini kami sedang sial. Berangkat pukul 23.00 wib, mobil baru bisa keluar tol Cikampek pada subuh, pukul 5 pagi. Banyaknya perbaikan jalan di mana-mana membuat perjalanan tersendat-sendat sampai dua puluh jam lebih untuk mencapai kaki Merbabu. Jadwal pendakian jadi ngaret setengah hari. Hampir tengah malam, kami tiba di Desa Ngablak, Kecamatan Ngablak, Magelang—meeting point yang kami sepakati dengan kawan-kawan dari Yogyakarta. Mereka sudah menunggu di sana.
Mengapa tidak langsung ke Desa Pogalan, titik awal pendakian? Sebab, kami masih perlu menambah bekal pendakian, dan pasar terdekat ada di Desa Ngablak. Maka malam itu kami tidur di aula desa yang terbuka, di sebelah pasar. Esok pagi, setelah berbelanja, kami akan mencarter 2 mobil angkutan desa untuk mengantar ke ujung jalan Pogalan. Ditambah kawan-kawan Yogya, jumlah kami menjadi sembilan belas orang: pendakian esok tentu seru, ramai, dan menyenangkan.
***

Mestinya pendakian hari pertama itu kami mulai sepagi mungkin, mengingat jadwal telanjur mulur enam jam, tapi apa daya, perjalanan hari sebelumnya terlalu meletihkan. Pukul 8.15 wib, barulah kami tinggalkan hutan pinus Pogalan di ketinggian 1.500 mdpl itu untuk menapaki area hutan terbuka di hadapan. Etape pertama, jalurnya sudah langsung menanjak terjal “menguji iman”.
Target kami hari itu adalah mencapai mata air di ketinggian 2.850 mdpl, agar malamnya dapat memasak-masak sepuas hati, memanjakan lidah dan selera, sebelum lelap bermimpi. Omong-omong, sampai sekarang saya masih sering gagal-paham terhadap para pendaki gunung yang membawa bekal makanan sekadarnya, kadang malah kurang dari cukup. Mereka seperti punya anggapan salah bahwa mendaki gunung itu identik dengan bersusah-susah, dan karenanya “wajar” berlapar-lapar, abai perbekalan (dan perlengkapan) yang sepatutnya jadi pertimbangan paling mendasar.
Beberapa jenak melangkah, kami masuki area hutan tertutup. Macam barisan semut kami berjalan beriringan tetapi dalam irama lamban, sesekali berhenti untuk memeriksa pendaki paling belakang agar tetap rapat bersama iringan. Saya tandai setiap persimpangan guna memastikan jalur yang benar, agar yang paling belakang tidak tersesat. Jalan setapak yang kami lalui ini sebenarnya jalur pipa air bersih yang memanjang naik dari desa-desa di bawah sana ke sumber air di atas. Kiri-kanannya masih rimbun karena para pendaki jarang melintasinya, dan penduduk Pogalan tak setiap hari menapakinya.
Matahari mulai condong ke barat saat kami mencapai padang rumput di ujung hutan tertutup. Di sana kami rehat, memasak makan siang dengan bekal air yang kami bawa dari Pogalan. Tak berlama-lama berhenti di tepian sabana, kami segera berkemas dan lanjut berjalan. Sebelum malam datang, kami harus sudah mencapai tujuan.

Sore itu, kawasan hutan tertutup di seberang lain sabana menjemput kami dengan sambutan yang sangat biasa. Tanpa drama di ujung senja. Hanya sunyi dan awan menutupi matahari. Bersama tiga orang lainnya, saya bergegas memburu lokasi mata air agar bisa selekasnya membangun perkemahan dan menyiapkan minuman hangat untuk seluruh tim.
Lalu satu per satu barisan semut yang kelelahan membawa berat beban itu berdatangan. Beberapa orang di belakang rupanya sangat kecapaian dan harus dijemput untuk dibantu membawakan beban. Malam itu kami tidur setelah lahap menikmati makan malam dan sebentar bercengkerama di sekeliling api unggun yang menghangatkan. Lelap dan nyaman.

Pagi berseri cerah pada hari kedua pendakian. Tak seperti kemarin, begitu kami keluar dari hutan tertutup tempat berkemah semalam, Merbabu menyuguhkan serakan romantika di tiap jengkal padang rumputnya. Inilah sabana yang kami tuju, padang hijau jalur Pogalan yang tak ada duanya dan masih sangat jarang dikunjungi orang. Rumpun-rumpun cantigi berkelompok di sana-sini, di atas luasnya padang yang membentang nyaris tanpa penghalang. Sabana ini dan mata air di ketinggian 2.800-an adalah kelebihan jalur Pogalan.
Perjalanan kami terasa melambat bukan akibat keletihan, tapi memang kami tak hendak bersecepat merenangi sabana ini. Beberapa orang di antara kami asyik mengambil gambar, lainnya ada yang tiduran di bawah rimbun cantigi—di atas lembutnya hamparan permadani alam.

Pukul dua siang, kami tiba di puncak triangulasi, puncak tertinggi Merbabu. Tak banyak lagi yang ingin kami resapi di sana, mungkin karena kegembiraan kami sudah memuncak sedari tadi di sabana jalur Pogalan. Puncak Merbabu jadi terasa seperti salah satu perhentian saja di jalan pulang.
Sore, sebelum gelap menyergap, kami memasak perbekalan, lalu bersiap turun menuju Selo. Idealnya, kami mestinya berkemah lagi malam itu di jalur turun, tapi sejak awal bukan itu rencana kami. Tak banyak waktu yang kami punya, sehingga malam-malam pun kami paksakan diri untuk turun. Bahkan meski hujan deras mengguyur sepanjang perjalanan, perjalanan tetap kami lanjutkan. Menuju Selo.
Hujan belum reda pada pukul sembilan malam, ketika kami tiba di rumah Pak Parman. Rumah di batas hutan kaki Merbabu itu sering menjadi tempat singgah para pendaki. Malam itu kami berencana menginap di sana, memulihkan tenaga, sebelum esoknya beriringan lagi kembali ke Yogya. Pulang.
Lelah dan letih, tapi bahagia. Itulah yang saya rasai malam itu sebelum pulas tertidur. Saya tertawai diri sendiri ketika baris-baris akhir puisi Robert Frost, The Road Not Taken, dengan lebay melintas di kepala:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
Dua jalan bercabang di hutan, kupilih menapaki yang jarang dilintasi. Jelas pilihan itu lebih menyulitkan. Namun keputusan itulah yang telah menempa diri, dan bertahun-tahun kemudian menjadikanku berbeda dari orang kebanyakan.[]