Kebanyakan pejalan mestinya akrab dengan istilah ai-ti-ren-ar… i-ni-te-rar… hwaahh… ai, ti, ne, ra, ri. ITINERARY! Ya, ya, ya, pokoknya a planned route or journey. Demi menghindari keseleo lidah lagi, mari sebut saja “rencana perjalanan”. Biar lebih singkat: “renjal”.

Tak soal kamu termasuk mana, well planned atau spontaneous traveler-kah, kamu tetap butuh iritena…,—hihhs!—rencana perjalanan. Yang membedakan kemudian adalah seberapa detail rencana perjalananmu.

Pejalan yang biasa nyaman mengendalikan keberhasilannya sendiri akan cenderung menyusun renjal sedetail mungkin. “Kalau gagal bersiap-siap, siap-siaplah gagal. By failing to prepare, you are preparing to fail,” kata Benjamin Franklin, yang tentu diamini para pejalan bermazhab well planned itu.

Sebaliknya, renjal yang sangat perinci mungkin akan membosankan bagimu yang cenderung spontan dan menyukai kejutan-kejutan dalam perjalanan. Namun, tanpa sama sekali menyusun renjal, kamu bisa berakhir menjadi gembel di kampung orang—tentu bukan itu tujuan perjalananmu, kan?

3 unsur pokok rencana perjalanan (itinerary)

Mudahnya, tentukan dulu 3 unsur renjal: tujuan, waktu, bujet. Hanya tiga komponen itu saja. Tujuan. Waktu. Bujet.

Pastikan tujuanmu: apa dan ke mana. Kemudian tetapkan waktumu: kapan dan berapa lama. Lalu tentukan bujetmu: apa yang dibutuhkan, berapa diperlukan, dan berapa perkiraan biayanya.

Setelah ketiganya beres, akan lebih mudah kemudian untuk mendetailkannya menjadi perincian renjal—berupa rute, jadwal, dan anggaran biaya perjalanan.

1. Pastikan tujuanmu: apa, ke mana?

Ingin apa, mau ke mana? Atau hendak ke mana, mau apa? Dua pertanyaan itu, “apa” dan “ke mana”, adalah kunci untuk menetapkan tujuan. Praktiknya bisa dimulai dari memastikan dulu “apa” yang diingini, baru menetapkan “ke mana” destinasinya. Bisa juga sebaliknya, menentukan destinasi yang hendak dikunjungi—ke mana, lalu menetapkan yang diingini di sana—apa.

Sedang ingin “apa”? Mendaki gunung sampai puncaknya, atau cukup berkemah di sekitar air terjun di kakinya? Atau pengin lari ke hutan belok ke pantai? Intinya, setelah ketemu apa yang kaumau, barulah jelas destinasinya mesti ke mana. Dalam hal ini, misalnya, ya gak mungkin berpelesir dalam Kota Surabaya. Tak ada gunung, hutan, atau air terjun di sana, meski mungkin ada pantai indahnya.

Hendak “ke mana”? Kepulauan Togean. Baiklah, “apa” pun dapat kaulakukan di bentangan 90 km surga terpencil itu kecuali berwisata belanja. Sebab, tentu saja tak ada orang yang cukup gila membuka factory outlet di sana.

Pemastian tujuan perjalanan ini penting, supaya tidak buang-buang waktu, tenaga, dan biaya melakukan perjalanan yang sia-sia. Lho, bukankah setiap kejadian baik atau buruk itu selalu ada hikmahnya, sehingga tak ada perjalanan yang sia-sia? Ya kalau mau mencari hikmah, tak perlu repot-repot traveling ngawur tanpa renjal, bosque.

Maka, terhadap pertanyaan hendak “ke mana” dan mau “apa” ini, pastikan menjawabnya dengan ketetapan hati yang teguh, kukuh, mantap tak goyah. Jangan pernah menjawab “terserah”. Hmm.

2. Tetapkan waktumu: kapan, berapa lama?

Bahkan bagi yang banyak menganggur pun, jangka waktu ini mutlak ditentukan untuk menyusun renjal yang utuh. “Kapan” berangkat dan “kapan” pulang? Di antara keduanya terselip “berapa lama”.

“Kapan”-nya nanti akan berkaitan dengan bujet, misalnya waktu pembelian tiket pesawat dan harganya yang naik turun. Juga berkaitan dengan tujuan, misalnya, kalau punya waktu luang hanya antara Januari sampai Maret, coret saja destinasi Gunung Gede-Pangrango: pada bulan itu biasanya kegiatan pendakian ke puncaknya ditutup.

Demikian juga dengan “berapa lama”, akan terkait bujet dan tujuan. Kalau tujuanmu adalah mengasingkan diri sejenak dari bisingnya kota, lalu kaupilih menyusuri pantai Pulau Panaitan sekalian menziarahi Gunung Raksa, maka “berapa lama”-nya bisa menjadi 7–10 hari. Akan tetapi kalau pilihanmu adalah ke Pulau Peucang, mungkin 4–5 hari cukup. Setiap harinya, akan ada biaya-biaya yang perlu direncanakan pengeluarannya dalam bujet.

Nah, tetapkan waktu perjalananmu. Kapan hendak berangkat? Berapa lama? Kapan pulang? Lebih mudah menjawab itu dibanding menghadapi pertanyaan “kapan nikah”.

3. Tentukan bujetmu: apa saja, berapa?

“Tapi uang ndak masalah buat eug!” Wooh, tetap perlu menyusun bujet, bosque. Saat, misalnya, tujuanmu pada hari kesekian perjalanan adalah suatu pantai jelita di barat daya Pulau Kei Kecil: uang plastikmu tak laku di sana. Dengan merencanakan bujet sebelumnya, kau akan tahu berapa karung uang tunai perlu kaubawa. Paham?

Bujet ditentukan lewat pertanyaan “apa saja” keperluannya dan “berapa” perlunya, serta “berapa” kira-kira biayanya.

Jawaban dua pertanyaan pertama, “apa saja” dan “berapa” yang diperlukan, bisa didapat setelah memerinci tujuan dan waktu perjalanan. Sedang pertanyaan ketiga, “berapa” kira-kira biayanya, dapat ditemukan jawabannya nanti pada tahap paling akhir penyusunan renjal.

Memerinci tujuan dan waktu menjadi rute dan jadwal

Anggaplah tujuanmu ke Gili Air, Lombok Utara, sementara kota asalmu Bogor, Jawa Barat. Mula-mula, bikin rute perjalananmu. Misalnya dari Bogor ke Bandara Soetta, untuk terbang ke Bandara Internasional Lombok (BIL). Lalu dari sana ke Pelabuhan Bangsal untuk menyeberang ke Gili Air.

Berdasar susunan rute itu, didapati apa saja keperluan perjalanan dan berapa biayanya. Dari Bogor ke Soetta perlu naik taksi online, sekian rupiah; atau kalau naik Bus Damri, sekian rupiah. Tinggal pilih. Lalu, perlu tiket Jakarta (Soetta)–Praya (BIL), sekian rupiah. Dari BIL kalau langsung ke Pelabuhan Bangsal perlu mencarter mobil, sekian rupiah. Boleh juga naik bus dulu ke Mandalika, sekian rupiah, kemudian disambung naik angkutan umum ke Pelabuhan Bangsal, sekian rupiah. Selanjutnya, untuk menyeberang dari Bangsal ke Gili, perlu naik perahu dengan ongkos sekian rupiah. Begitu seterusnya….

Sampai tahap ini, selain ketemu anggaran biaya, juga otomatis didapati perincian rute berikut jadwal perjalanan. Nah, yang tersusun inilah rencana perjalanan itu. Renjal. Itinerary.

“Serius, semudah itukah?” Lhah, memang mudah, Kak.

Yang kira-kira nanti agak menyulitkan mungkin adalah cara menentukan pilihan rute perjalanan, juga memperkirakan biaya-biayanya. Akan tetapi sebenarnya itu pun “mudah”: googling adalah koentji, betul?

Tapi, tapi, ….

Bisakah urutan penyusunan renjalnya dibolak-balik?

Bisa banget. Memang, akan lebih mudah dan “bebas” menyusun renjal jika kita memulainya dari menetapkan tujuan, lalu faktor waktu dan bujet mengikuti si tujuan.

Tujuan → Waktu → Bujet

Namun, sering pada praktiknya waktu yang kita punya terbatas, misalnya karena jatah cuti tinggal 5 hari, sehingga tidak mungkin memilih destinasi yang minimal butuh waktu 6 hari. Atau, bujet kita terbatas, sementara soal waktu bisa lebih bebas. Pada kasus semacam itu, penyusunan renjal bisa dimulai berdasar luangnya waktu atau ketersediaan bujet. Konsekuensinya, faktor lainnya akan mengikuti “batasan” yang kita jadikan dasar: waktukah, atau bujet.

Waktu → Tujuan → Bujet atau

Bujet → Tujuan → Waktu

“Ah, ribet. Mending eug minta tolong kawan bikinin renjal daripada pusing sendiri.” Jangan manja, bosque. Menyusun renjal adalah keterampilan dasar yang wajib dikuasai semua pejalan. Sebab, perencanaan itu artinya antisipasi, dan antisipasi adalah cerminan sikap bertanggung jawab. Tanggung jawab pada, minimal, diri sendiri dan orang-orang yang menyayangi kita. Ciee.

Kalau ada pertanyaan atau tambahan catatan, sila tulis di kolom tanggapan di bawah. Lalu mari kita diskusikan dan pelajari bersama.[]

Leave A Reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini