Rutinitas saya bisa diringkas dalam satu kata: mengerikan.

Setelah semalaman terkungkung dalam kamar kos tanpa jendela, keesokan paginya saya bangun untuk dijebak macet dan bisingnya jalanan Kota Surabaya. Setelah lepas dari cengkeraman horor di jalanan, gedung dengan cahaya dan penyejuk artifisial pun menyambut, menampilkan kesan yang dingin dan amat berjarak. Pada sore hari, setelah meloloskan diri dari gedung yang mengancam itu, saya harus kembali menghadapi teror kemacetan hanya untuk pulang ke sangkar kecil saya yang kini terasa bagai penjara.

Siklus tersebut saya lalui selama enam hari seminggu; tujuh hari bila atasan meminta saya untuk lembur. Maka, pada satu titik kritis yang membuat saya mulai kerap meragukan kewarasan sendiri, saya mengambil cuti untuk berpelesir ke Bali. Mendaki gunung atau duduk santai di pantai sambil tak memikirkan apa pun tampaknya kegiatan yang menyenangkan.

Namun, satu pesan singkat dari seorang karib membuat saya membatalkan tiket.

“Niagara kecil sudah muncul di kampungku,” ketiknya dengan taburan emoji di tiap kata. Lantas sambungnya, “Kau harus ke sana, bukan ke Bali. Aku sudah mengambil cuti untuk menemanimu.”

Pesan itu ia kirim pada malam hari. Keesokan harinya, tepat pukul tujuh, ia sudah berdiri di ambang pintu kamar saya sambil menyandang ransel. Dua tiket kereta ia lambaikan dengan mimik penuh kemenangan. Ia, dengan gestur seorang komandan kompi kepada tamtama, menyuruh saya bergegas mandi dan mengepak barang sebab kereta kami akan berangkat satu jam lagi.

Gelagapan saya mengisi ransel dengan barang apa pun yang teraih tangan: tiga stel baju dan celana, ponsel dan kamera, obat pereda nyeri, dan sikat gigi. Saya tak sempat mandi, tetapi tanpa saya mandi pun kami nyaris ditinggal kereta. Setelah mengucap maaf berkali-kali pada kondektur kereta dan menghela napas lega di kursi penumpang, lumat ia saya marahi.

Kediaman karib saya terletak di desa Ngloram, kecamatan Cepu, kabupaten Blora. Kecamatan yang beberapa waktu lalu menghebohkan publik akibat ditemukannya cadangan minyak bumi terbesar di Indonesia itu bisa dicapai dengan kereta api selama dua setengah jam perjalanan dari Surabaya. Bila menggunakan bus, perjalanan bisa molor hingga empat jam lamanya.

Sesampainya kami di stasiun Cepu, kami menyambung perjalanan ke Ngloram dengan menumpang ojek. Rumah karib saya berdinding kayu, berhalaman seukuran tiga lapangan voli, dan berada di tepi Bengawan Solo. Kami disambut oleh ibunya yang luar biasa ramah.

“Sore nanti kita ke sana,” ujar karib saya sembari menunjukkan kamar untuk saya. “Sekarang kamu tidur dulu.”

Jeram Watu Gong Kracakan, Cepu, Jateng
Jeram Watu Gong Kracakan terbentuk oleh turunnya debit air Bengawan Solo saat kemarau. Pada musim penghujan, sudah pasti objek wisata ini lenyap. (Foto: Kukuh Purwanto)

Sehabis ashar kami berjalan kaki ke sana. Nama objek wisata tersebut, seperti yang tertulis pada baliho di mulut gang, adalah wisata Watu Gong Kracakan. Kracakan, barangkali kata itu merupakan onomatope dari derasnya air yang terjun. Tapi Watu Gong: apakah bebatuan di sana bisa berbunyi seperti gong?

“Aku juga tak tahu,” jawab karib saya sambil menunjuk ke kejauhan, “tapi, selamat datang di Niagara kecil.”

Pencomotan nama air terjun terbesar sedunia itu jelas berlebihan. Wisata Watu Gong Kracakan bukanlah berupa air terjun, melainkan sekadar jeram yang sangat lebar. Jeram tersebut diakibatkan oleh turunnya debit air Bengawan Solo di musim kemarau sehingga semacam gosong sungai muncul ke permukaan. Saat musim penghujan, sudah pasti objek wisata ini lenyap.

Kami turun menuju ke tengah sungai melalui jalan setapak berundak dan jembatan bambu yang sepertinya belum lama dibuat. Saat kaki saya telah menapaki air setinggi pergelangan kaki, tahulah saya bahwa jeram Watu Gong disusun bukan oleh bebatuan sedimen basalt yang solid kokoh, melainkan oleh endapan kapur yang tersedimentasi. Akibatnya, pengunjung Watu Gong harus sangat berhati-hati saat melangkah karena dasar sungai yang sangat licin. Beberapa kali saya dapati pengunjung yang terpeleset meski telah mencopot alas kaki.

Sore itu Watu Gong dipadati pengunjung. Tua-muda, besar-kecil, pria-wanita, semuanya tumplek blek di area yang tak lebih luas dari separuh lapangan sepak bola itu. Ada yang tak henti-hentinya berswafoto, ada yang bermain kecipak air, ada pula yang sekadar menunggu umpannya disambar ikan.

Jeram Watu Gong
Yang hadir menemani adalah suara jeram dan kecipak ikan-ikan kecil yang berlompatan. (Foto: Kukuh Purwanto)

Semakin senja, pengunjung yang datang semakin membludak. Tak hanya dari desa Ngloram, pengunjung juga bisa masuk melalui sisi seberangnya, yaitu dari desa Payaman, kecamatan Ngraho, kabupaten Bojonegoro. Betul, Watu Gong tak hanya membatasi dua desa, melainkan juga membatasi dua provinsi: Jawa Tengah dengan Jawa Timur.

Setelah puas mengambil gambar dan merendam kaki di jeram utara yang relatif dangkal dibandingkan jeram selatan yang lebih dalam dan lebih deras debitnya, tibalah momen yang ditunggu-tunggu oleh saya dan pengunjung lainnya sedari tadi: momen matahari terbenam. Ufuk barat, yang disesaki oleh gumpalan awan putih, berwarna jingga membara dengan semburat kuning beraneka gradasi menyembul dari sela-sela awan. Matahari jingga berukuran raksasa perlahan turun dan menghilang di kelokan bengawan, meninggalkan langit yang megah oleh pelbagai warna. Gelap merambat dari timur, dan sayup azan magrib berkumandang dari segala penjuru.

“Besok pagi kita ke sini lagi,” ujar karib saya sembari menepuk bahu, membangunkan saya dari ketercekatan akibat kemegahan senja.

Pengunjung berangsur-angsur pulang, begitu pula dengan kami. Senja nan magis tadi masih membekas pada diri saya bahkan hingga menjelang tidur. Keindahan, dalam bentuknya yang optimum, ternyata bisa menyesakkan dada, tak ubahnya kepedihan. Bedanya, bila kepedihan mendorong seseorang untuk meratap, keindahan memunculkan hasrat untuk menuangkannya dalam bentuk keindahan yang lain.

Maka, malam itu saya isi dengan membikin berlembar-lembar puisi.

Langit masih gelap ketika karib saya masuk ke kamar dan membuat gempa di tubuh saya. Ia berkata bahwa fajar sebentar lagi tiba, dan langit bersih tanpa awan sehingga cocok sekali untuk berburu sunrise.

Tak lama kemudian kami berjalan menuju Watu Gong dengan pakaian berlapis-lapis dan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Udara yang dingin menggigit jelas tak cocok untuk seseorang yang biasa terpapar hawa gerah Surabaya. Dengan gigi bergemeletuk, saya berjongkok di tepi sungai. Mengingat jemari kaki yang mulai mati rasa, alangkah bijak, pikir saya, bila memotret fajar dari tepian saja.

Momen yang ditunggu pun tiba. Terang merambat naik pelan-pelan, sebelum memunculkan matahari yang bermula sebagai lengkung cahaya di balik gerumbul bambu. Fajar merekah dengan matahari yang seketika pucat, tak meninggalkan momen magis apa pun sebagaimana yang dilakukan oleh senja.

Saya mengurungkan niat mengambil gambar. Jemari tangan yang ikut kebas, momen yang buruk, dan sudut pengambilan gambar yang tak memadai cukup dijadikan sebagai alasannya. Maka, kami duduk saja memeluk lutut di tepian, menikmati kehangatan mentari pagi yang melelehkan beku pada jemari.

Sekitar satu jam kemudian kami baru berani turun ke jeram. Dengan kebas yang telah lenyap, kami leluasa memilih pijakan pada batuan kapur. Tak ada wisatawan yang berkunjung dengan niat pelesiran kecuali kami. Hanya ada enam orang pemancing yang merupakan warga sekitar sini, penarik sampan yang sibuk menyeberangkan orang-orang, dan empat orang penjala ikan.

Meskipun tanpa kehadiran langit yang menyihir kesadaran, saya pikir pada pagi inilah alasan terbaik saya untuk datang kemari tergenapi. Tak ada keriuhan, tak ada polusi. Yang hadir menemani saya adalah suara jeram dan kecipak ikan-ikan kecil yang berlompatan. Sesekali terdengar kikik, sesekali tercium aroma kretek, tetapi tak ada yang artifisial di sini.

Saya jejakkan kaki pada jeram utara. Saya resapi tekstur licin batuan pada telapak, deras arus yang seperti memberi efek terapi pada titik-titik refleksi, dan kawanan ikan kecil yang berkecipak dan melompat dan melawan arus di sekeliling saya. Alam seolah sedang menyuguhkan harmoni terbaiknya untuk saya. Hanya untuk saya.

Pada pagi ini, setelah bertahun-tahun terkungkung di dalam penjara bernama rutinitas, saya—barangkali terdengar melodramatis—akhirnya mengerti seperti apa rasanya pulang.[]

Leave A Reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini