Oleh: Ika Sosilowati
Tahun 2013 lalu, banyak hal-hal nekat yang aku perbuat. Salah satunya adalah mendaki Gunung Ceremai di bulan Agustus, hanya selisih beberapa hari setelah Idul Fitri. Sebelum mendaki saja, aku sudah harus rela kelelahan di sepanjang jalan Pantura. Bermacet-macet bersama masyarakat yang kembali ke ibukota. Aku dan tiga temanku lainnya naik motor dari Pekalongan.
Tidak ada persiapan fisik apa pun karena semuanya serba mendadak. Dan yang paling nekat, aku bahkan tidak browsing terlebih dahulu tentang Gunung Ceremai. Alhasil, rasanya aku berjalan begitu lambat sepanjang pendakian. Selain kurangnya persiapan fisik, ternyata medan pendakiannya juga di luar bayanganku. Harusnya hal ini bisa dicegah dengan, setidaknya, membaca literatur terlebih dahulu tentang medan pendakian untuk mempersiapkan mental.
Terjal. Memang banyak pos buat istirahat, sih, tapi jarak dari pos satu ke yang lain rasanya kelewat panjang. Belum lagi, banyak medan bebatuan yang membuat aku ingin terbang saja saat melihatnya. Iya, bagi aku yang sebelumnya hanya pernah berkunjung ke Ungaran dan Merbabu, medan Ceremai adalah yang paling membuatku ingin menangis.
Kami lewat jalur Linggarjati, yang paling terjal dibanding dengan dua jalur lainnya. Cerita sepanjang pendakian tidak usah aku tuliskan, ya. Biar kalau kalian ingin tahu, bagi yang belum pernah, makin penasaran untuk mencobanya sendiri ke sana. Aku juga baru tahu kalau Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat, justru setelah aku berhasil menapakkan kakiku di puncaknya yang berketinggian 3.078 mdpl. Nekat? Cukup iya bagiku, dan ini adalah ‘titik awal’ dari kenekatan-kenekatan lainnya.
Well, tidak ada yang mustahil selagi kita bersedia untuk “ya udah, nekat aja.” Namun demikian, sebaiknya kita mendaki dengan penuh persiapan. Membaca literatur atau menggali info pada orang yang sudah pernah mendaki sebelumnya, supaya pendakian kita lebih aman dan nyaman.[]