Guncangan bus membangunkan saya. Melirik ke luar jendela, pemandangan yang sebelumnya berupa perkotaan berubah menjadi perkebunan, hutan, dan pegunungan. Di jendela kursi seberang, Gunung Sindoro berdiri elok dengan sejumput kabut di sekitarnya. Saya mengenali betul gunung itu sebagai Sindoro dari rupa kegagahannya. Masih jelas di ingatan, dua tahun lalu saya daki gunung itu dalam misi kemanusiaan mencari pendaki yang hilang. Kini saya kembali ke tanah dingin ini, tetapi bukan hendak ke Sindoro, melainkan ke Dataran Tinggi Dieng. Pada Agustus 2017 ini, di sana akan digelar prosesi budaya turun-temurun yang kini telah difestivalkan, Dieng Culture Festival (DCF) yang kedelapan. Saya akan menyaksikannya.
Jam di layar ponsel menunjukkan pukul enam lebih enam belas menit pagi. Semalam saya berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 22.30, dan tiba di Stasiun Purwokerto empat jam kemudian, 03.30. Di sana, beserta rombongan yang ikut biro perjalanan, kami dijemput bus. Dengan bus itulah kini saya menuju Dieng, Negeri di Atas Awan yang dipercayai sebagian masyarakat sebagai tempat tinggal para Dewa.
Pandangan saya masih belum lepas dari panorama di luar jendela. Kebetulan saya duduk sendirian. Kursi di samping saya kosong. Saya kira kami sudah sampai tujuan ketika bus tiba di pos bertuliskan “Selamat Datang di Dieng”, ternyata perjalanan masih panjang sebab kami baru memasuki kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah.
Jalur yang dilalui makin menanjak dan berliuk-liuk, mengikuti bentuk punggung gunung dan perbukitan. Permukiman yang semula masih ramai di sepanjang sisi jalan, kali ini sudah tidak ada. Hanya sesekali menemukan rumah dan kerumunan atap di kejauhan. Perkebunan kentang dan sayur menyemut di perbukitan dan punggung gunung. Meningkat-ningkat serupa tangga yang dari jauh tampak seakan menggunduli gunung. Masyarakat sini memang mengandalkan hasil tani dan perkebunan sebagai sumber penghasilan.
Tak lupa saya abadikan bukit berterap kebun sayur itu dan membaginya di akun media sosial. Sinyal internet di sini lumayan bagus untuk provider yang saya gunakan.
Perjalanan menanjak melewati pegunungan itu makin menegangkan saat tebing-tebing curam dan kebun-kebun berkemiringan ekstrem mengangakan jurang di sepanjang kanan jalan. Belum lagi kelokan sekaligus tanjakan yang membuat saya harus berpegangan pada sandaran kursi di depan. Sampai kemudian sebuah baliho bertulisan “Dieng Culture Festival” menyambut di sisi jalan, menampilkan wajah seorang anak perempuan berambut gimbal. Dieng pasti sudah dekat.
Benar saja, pukul 8 pagi itu kami tiba di salah satu homestay di pusat permukiman Dieng yang sudah disiapkan biro perjalanan. Setelah turun dan mengambil ransel masing-masing di bagasi, tour leader biro perjalanan mempersilakan kami masuk. Sarapan sudah menanti. Usai sarapan, karena perjalanan cukup panjang dan melelahkan dari Jakarta, kami dipersilakan istirahat sampai pukul setengah dua siang.

Alih-alih beristirahat, saya taruh ransel di kamar lalu keluar untuk melihat-lihat—berjalan sendirian mengelilingi permukiman tinggi di atas awan ini. Saya bersyukur, rencana lima tahun lalu pergi ke sini akhirnya terlaksana hari ini. Ya, saya sudah mendambakan berkunjung ke dataran tertinggi di Nusantara ini sejak 2012 silam. Saat itu saya masih kelas 2 SMA, dan sedang mencari lokasi yang cocok untuk latar cerita novel yang akan saya tulis. Lalu saya pilih Dieng sebab banyak mendengar kisah keindahan dan keromantisannya dari banyak orang yang sudah mengunjunginya. Oleh banyaknya kesibukan dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara pergi ke Dieng, dambaan itu akhirnya hanya tersimpan menjadi harapan. Harapan itu terlaksana hari ini. Syukurlah.
Kini saya sudah berada di Dieng, merasakan betapa dingin dan ramahnya alam yang tersaji. Beberapa toko, kafe, dan warung makan sedang ramai pagi itu. Saya kunjungi salah satunya, menikmati secangkir kopi dan mengobrol dengan pemiliknya, sambil melihat wisatawan lain berfoto, berbahagia bersama di sela ramainya lalu lintas jalanan yang dipadati kendaraan roda dua sampai roda empat.
Umbul-umbul dan pernak-pernik Festival Budaya Dieng 2017 berjajar di sepanjang jalan. Saya baru sadar, Dieng seramai dan sehidup ini. Yang saya bayangkan tentang Dieng sebelumnya adalah permukiman di atas gunung yang sepi dan tenang, Kompleks Candi Arjuna yang agung dan indah, alam yang menawan dan kedamaian. Ternyata Dieng tak ubahnya Kota Serang saat siang, untuk menyeberangi jalan saja saya mesti tengok kiri-kanan. Bisa jadi hiruk-pikuk ini berlangsung saat festival saja. Pada waktu lainnya, tentu Dieng lebih tenang dan lengang seperti bayangan saya.
***
Di hari pertama, bersama rombongan wisata, kami kunjungi Kawah Sikidang. Kira-kira sekali dalam 4 tahun, kolam-kolam kawahnya akan berpindah dalam satu kawasan, seolah melompat seperti kijang. Karena itulah ia dinamai Kawah Sikidang (Jawa: Si Kijang).
Aroma belerangnya menyengat, tetapi Sikidang selalu ramai didatangi. Bahkan banyak didirikan tempat untuk berswafoto bagi wisatawan.
Dari Kawah Sikidang, kami beranjak ke Telaga Warna—sekitar 2 km ke arah timur laut. Telaga indah nan eksotis ini mengandung belerang. Pada acara kirab budaya, rambut anak gimbal yang telah dipotong akan dilarung di telaga ini.
Di sekitar telaga itu banyak gua yang dikeramatkan. Salah satunya adalah Gua Sumur, yang untuk memasukinya berarti menuruninya, dan di dasarnya terdapat sumur berair sangat jernih. Air sumur itu disebut tirta prawitasari, dipercaya sebagai air suci yang dapat menyembuhkan aneka penyakit. Umat Hindu-Bali acap menziarahi gua itu, mengambil airnya untuk bersembahyang—muspa atau mebakti.
Malam harinya, Panitia DCF 2017 menyuguhkan Jazz Atas Awan, pagelaran musik jazz oleh musisi lokal dan nasional.
Esoknya, pagi sekali kami berangkat dari penginapan ke Bukit Sikunir. Ada yang datang sejak pukul dua belas malam di sana dan bertahan melawan dingin sampai fajar menyingsing, demi menunggu golden sunrise muncul di batas langit bagian barat, menampilkan siluet indah Gunung Sindoro. Mungkin lagi-lagi karena adanya pagelaran festival seperti ini, pengunjung Bukit Sikunir pagi itu membeludak berdesakan. Saya harus bersabar antre mendaki karena banyaknya wisatawan berebut hendak menyaksikan matahari terbit yang kabarnya terindah se-Jawa Tengah.

Puas memandangi matahari terbit, saya dan rombongan wisatawan sebiro perjalanan berpindah sekitar 6 km ke arah utara, ke Batu Pandang Ratapan Angin. Sesuai namanya yang mirip nama tempat di cerita silat, ada dua batu besar berdampingan di bukit: satu tampak duduk, lainnya berdiri—konon merupakan penjelmaan seorang putri dan kekasih gelapnya yang terkutuk sebab tepergok berselingkuh. Angin kerap berhembus kencang menerpa dua batu itu, seolah mendesis meratap sedih.
Kesedihan tanpa sebab yang jelas, lebih mirip kegalauan, bisa saja muncul tiba-tiba saat kita berdiri di puncaknya, demi dihadapkan pada bentang keindahan Telaga Warna dan Telaga Pengilon berlatar lukisan alam yang sempurna. Memang, dari puncak Batu Pandang Ratapan Angin, hamparan Negeri di Atas Awan ini begitu memukau memesona.
Sore hari kedua, saya sempatkan berjalan-jalan keliling Dieng, karena jadwal melihat Candi Arjuna gagal. Candi itu tengah disterilisasi sebab esok akan digelar acara sakral pemotongan rambut anak gimbal di sana.
Malamnya, alunan jazz kembali diperdengarkan di panggung utama DCF 2017. Udara dingin yang sangat menyengat tak membuat wisatawan meninggalkan area. Malam itu pula digelar pertunjukan wayang orang, menceritakan asal muasal anak gimbal. Penerbangan ribuan lampion dan kembang api kemudian mempercantik langit gelap, memuncaki kemeriahan malam itu.

Pada hari ketiga, puncak acara, Kirab Budaya Dieng dilangsungkan. Hari itu, prosesi adat yang sudah dilakukan turun-temurun ini dihadiri 15 raja dan ratu Nusantara serta Gubernur Jawa Tengah.
Kirab dimulai dengan perjalanan arak-arakan anak gimbal dari rumah Ketua Sepuh sampai Kompleks Candi Arjuna. Anak-anak ajaib itu dimandikan dengan air suci dari Sendang Sedayu dan Maerokoco sebelum rambut gimbal mereka dipotong. Saat pemotongan, puluhan ribu wisatawan memadati Candi. Lalu potongan-potongan rambut gimbal itu dilarung ke Telaga Warna.

Siangnya, sebelum upacara pemotongan rambut anak gimbal selesai, saya kembali ke penginapan. Pemandu perjalanan mengingatkan kami untuk segera berkemas dan meninggalkan penginapan. Jika terlambat, akibatnya bisa tertinggal kereta dari Purwokerto menuju Jakarta. Apa boleh buat, saya merasa wajib patuh meski masih betah berlama-lama. Dieng sudah memikat hati saya bahkan sejak sebelum tiba di sana.
Pesona alamnya menakjubkan, ditopang tradisi dan keramahan penduduk, berimbuh keceriaan wisatawan dalam dingin udara yang menenangkan, berikut jutaan memori yang sudah telanjur melekat di kepala saya, semuanya sulit lepas begitu saja. Negeri di atas awan ini demikian penuh romansa.
Darinya saya menyadari, keromantisan itu tak mesti berupa cinta dengan pasangan. Berpapasan saling tersenyum dengan masyarakat itu juga bentuk kemesraan—romantis. Berbahagia menghayati panorama alam pun romantis. Terhanyut menonton indahnya tari-tarian tradisional pula romantis. Dieng seakan memaparkan, romansa indah itu bentuk universal segala kebahagiaan.
Tetapi memang lebih romantis kalau menziarahi Dieng bersama pasangan. Eh.[]