Banyak orang yang lekas kikuk dalam keramaian. Bertemu keramaian di mana saja, kepala bisa cenat-cenut ingin meletus. Orang seperti itu jelas kesulitan jika ingin jalan-jalan, apalagi di akhir pekan. Saya salah satunya—penghindar keramaian. Melepas penat di akhir pekan dengan berjalan-jalan bisa-bisa malah membuat saya lebih stres berhari-hari berikutnya.

Namun, dari segala ramai, saya punya satu tempat yang bagi saya mampu memberi damai. Dialah Kota Tua Jakarta yang kini justru semakin awet muda.

Alkisah, malam minggu kemarin, saya melaju bersepeda motor di atas boncengan seorang kawan. Kami yang sedang agak bosan dengan isi kontrakan ingin sejenak mencari kesegaran. Akan tetapi tahu sendirilah Jakarta sehiruk apa saat akhir pekan. Gamang menentukan tujuan, saya kirim pesan ke grup WhatsApp yang berisi teman-teman SMA seperantauan.

“Kumpul bocah, yuk!”

“Yuk. Ke mana, bocah?!”

Grup diskusi belasan orang itu pun ramai bersahut. Isinya sama-sama bingung, mau ke mana malam Minggu di Jakarta. Selintas, tiba-tiba saya teringat ada acara Asean Literary Festival di Kota Tua. Sembari duduk di atas motor yang melaju (tolong jangan ditiru), spontan saya ketikkan pencerahan.

“Asean Literary Festival: gimana? Di Kota Tua.”

Beberapa pesan membalas mengiyakan, terutama karena banyak dari kami memang berasal dari komunitas teater yang sama saat SMA. Apalagi salah seorang kawan juga mengucap penasaran ingin melihat acara diskusi Goenawan Mohamad. Jadi, yak! Palu diketok. Destinasi: Kota Tua Jakarta.
 

Parkiran di samping kali, sempit dan penuh
Parkiran di samping kali, sempit dan penuh! (Foto: PanchoNgaco)
Sore beranjak remang menuju senja saat kami menerjang tujuan via Jalan Pangeran Tubagus Angke, yang sebentar-sebentar lancar, sebentar-sebentar merayap. Perjalanan hanya menghabiskan waktu 20 menit. Langit Jakarta yang merajut senja menjadi tampak sangat manja ketika kami tiba di jalan utama Kota Tua. Logo Bank Mandiri sudah membubung dari bangunan putih sebelah kanan. Warna-warni lampu berkelap-kelip di sana-sini. Angkot-angkot biru berlomba mengencangkan klakson. Segala keriuhan ini menandakan kami telah tiba di tempat yang tepat—lebih cepat dibanding kawan-kawan lain.
 
Sejenak berupaya menembus macet yang tak pernah absen di kawasan ini, akhirnya Vario kami parkirkan di antara kijang-kijang besi dalam sebuah gang di samping kali. Kami tinggalkan dia di sana lalu segera melangkah ke Kota Tua.
 
Alamak ramainya!
 
Dada ini sempat sesak melihat kerumunan manusia berjejal memadati selasar Kota Tua. Tangan sedikit tremor karena tubuh bertemu sesuatu yang biasanya selalu dihindari, tetapi pemandangan cantik gugus bangunan tempo dulu yang meriah dengan lampu menjadikan hati ini damai kembali.
 
Keramaian Kota Tua
Warga ibukota menikmati hiburan rakyat di Kota Tua (Foto: PanchoNgaco)

Sembari melangkah, saya tengok kanan-kiri, menyaksikan atraksi dan lapak berserak dikerubungi pengunjung. Banyak kedai makan baru, yang pastinya semakin menarik perhatian wisatawan yang zaman sekarang senang eksis update foto di media sosial. Saya intip sejenak menu makanan dan harganya yang terpampang di papan pinggir jalan.

“Hmmm, harga kawasan wisata, lebih fokus jual estetika dibanding rasa,” kelakar saya sok bermain rima. Teringat dulu saya pernah singgah di Kafe Historia dan Kedai Seni Djakarte di sana. Sajiannya, sih, ramah di lidah, tapi memang suasananya yang lebih wow dibanding rasa kulinernya.

Kedai Seni Djakarte
Kedai Seni Djakarte, menjual makanan Nusantara ikonik. Bir Pletok juga ada. (Foto: PanchoNgaco)

Sembari menanti kawan lain bergabung, saya berkeliling mencari kudapan. Ganjal perut sedikitlah sebelum menyimak Goenawan Mohamad berbagi kiat. Pilihan jatuh ke kuliner idola, tahu gejrot. Hmm, agak miris, ya, main ke kawasan wisata sejarah Jakarta, kok, makannya kuliner khas Cirebon. Tak mengapa, toh mulut dan perut masih punya ruang untuk dimanjakan dengan kuliner lainnya nanti malam.

Sudah hampir pukul tujuh, tanda acara akan dimulai, tetapi kawan-kawan lain belum datang juga. Sembari menunggu (lagi), saya susuri pinggiran Alun-alun Kota Tua untuk melihat pameran buku. Sambil menyisir stan buku satu per satu, sesekali saya lemparkan pandangan ke kerumunan orang yang duduk di tengah lapangan untuk bercengkerama atau menyaksikan pertunjukan musik sebagai hiburan. Ramai, riuh, penuh, namun sangat harmonis. Enak dilihat, enak didengar.

Buku-buku yang dijual di acara ini sangat menarik. Beberapa bahkan ada yang cukup langka. Harganya pun ada yang didiskon. Sayangnya saat itu dompet saya tipis, jadinya keliling stan buku hanya bermodal mata, tangan, dan iler sajalah. Lihat, pegang, ngiler, lalu letakkan kembali. Sisanya tertawa ironis dalam hati.

Jarum jam semakin mendekat tepat ke pukul tujuh. Kawan-kawan yang ditunggu akhirnya bermunculan. Sehabis bertukar salam gaya anak muda, tos-tosan, kami berempat berjalan menuju tempat acara, yaitu Gedung Tjipta Niaga. Terima kasih saya ucapkan kepada Google Maps karena mengantar kami ke lokasi itu, setelah sempat pusing menentu arah di tengah riuhnya manusia mencari hiburan rakyat di Kota Tua.

Kami tiba di lokasi acara sedikit terlambat. Diskusi ternyata sudah dimulai, moderatornya ternyata Mbak Okky Madasari, salah satu penulis Indonesia kesukaan saya. Kami cari tempat yang nyaman untuk berdiri dan menyimak, karena seluruh bangku sudah penuh terisi.

Di sana, saya sungguh-sungguh berjuang untuk dapat memahami diskusi. Masalahnya, sound di ruangan itu rasanya salah pasang. Dalam ruangan selowong itu, dengan banyak jendela tinggi terbuka, speaker-nya hanya ada dua, di bagian depan sebelah kanan dan kiri saja. Kami yang di tengah hingga belakang hanya bisa mendengar lamat-lamat. Hanya beberapa potong kisah proses kreatif pembuatan Catatan Pinggir yang ikonik dari Goenawan Mohamad yang dapat saya tangkap. Itu pun sudah dengan terus mengernyitkan mata dan mencondongkan telinga. Segala perjuangan itu akhirnya hanya mampu bertahan 20 menitan. Lagu lamanya: semua kalah oleh rasa lapar. Ck, ck, ck…. Ketika seorang kawan berinisiatif mengajak makan, kami bertiga mengangguk cepat saja. Sampai jumpa di lain kesempatan, Mbak Okky dan Bung Goen!

Diskusi GM
Ruang seluas ini, sound-nya minimalis (Foto: PanchoNgaco)

Gagal menyimak diskusi sastra sampai selesai, kami akhirnya terdampar di trotoar. Bukan untuk mengamen, apalagi cari pelanggan, melainkan makan. Malam itu kami makan di trotoar pinggir jalan besar kawasan Kota Tua. Suasananya riuh, pikuk, tapi berkesan. Ratusan manusia duduk beralas terpal, menyantap makanan jalanan sembari sesekali diusik pengamen yang gigih menagih kami mengisi receh ke kantong mereka. Persis di kanan-kiri, mobil dan motor bertukar posisi. Bahkan sempat ada truk besar lewat di samping saya, saat saya sedang mangap hendak melahap ketoprak. Seorang teman sampai berujar, “Cuma di sini, nih, bisa makan sambil nontonin truk lewat.” Namun memang di situlah letak serunya. Jika sudah begini, lupakan dulu perkara higienis, yang penting memorable!

Ketoprak dan gado-gado sudah pindah dari piring ke perut. Tak nyana, perut dan lidah masih menurut pada lapar mata. Dengan banyaknya jajaran kudapan jalanan khas Nusantara di Kota Tua, kami jadi seperti anak kecil yang buas ingin jajan sampai puas. Es potong, jagung rebus, sampai bakso bakar, semua diajak singgah di lidah.

Senja semakin menua dan malam segera menjadi, mengundang kami mencari damai dan lalu terpikir untuk bergaya sok kaya. Usai menarik uang di ATM terdekat, kami langkahkan kaki ke Cafe Batavia, salah satu kafe bergaya Eropa paling legendaris di kawasan ini. Memasukinya, kami disambut pramusaji jelita. Salah seorang kawannya malah mirip aktor Reza Rahadian. Di sana kami pesan kopi dan kentang goreng.

Cafe Batavia
Cafe Batavia, Kota Tua, Jakarta (Foto: PanchoNgaco)

Setelah setengah jam mengagumi interiornya, panggung mulai menyala dan live music dimainkan. Bukannya gembira, saya malah kecewa. Masa, kafenya bergaya tempo dulu, tapi band-nya memainkan musik top forty?! Es coklat dingin yang saya minum langsung terasa datar saat intro lagu Despacito dialunkan. Tambah sedih lagi karena lagu request kami, Sang Rayuan Pulau Kelapa, sama sekali tidak dimainkan sampai kami pulang.

Lewat jauh dari pukul sepuluh malam, kami tinggalkan Cafe Batavia. Menakjubkan bahwa alun-alun luas yang baru beberapa jam lalu riuh disesaki ribuan manusia, kini lengang dan sepi. Sekaligus menyedihkan, sebab lautan manusia tadi kini berganti hamparan sampah mengotori. Hanya pasukan oranye yang tersisa, tekun membersihkan limbah wisata. Para pelancong egois ini gimana, sih, mikirnya? Apa sulitnya peduli sampah pribadi? Menyebalkan sekali.

Sampah Alun-alun Fatahillah
Lautan manusia di Alun-alun Fatahillah berubah jadi hamparan sampah (Foto: PanchoNgaco)

Meski sempat terusik budaya lalai dan jorok itu, saya tetap dapat merangkum kedamaian. Sulit mencarinya di ibukota, tapi Kota Tua selalu mengoleh-olehi saya damai dan bahagia. Pemandangan khas hiburan rakyat, museum klasik yang meski tutup tetap disiram aneka cahaya, deretan lapak serba ada yang menjadi sumber penghidupan orang sekitar…. Ah, mimpi saya malam ini pasti cantik. Apalagi sebelum pulang, kami sempat mampir sebentar di Kalijodo, bersenda gurau bermain Pancasila Lima Dasar sambil makan tahu goreng.[]

Leave A Reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini