Kebiasaan pejalan/traveler zaman sekarang itu update status di media sosial, dan “keharusan” membuat posting seringnya bikin lupa untuk menikmati momen demi momen perjalanan. Juga lupa, kalau bukan lalai, bahwa beberapa destinasi itu termasuk sakral bagi warga lokal, sehingga nggak bisa sembarang jeprat-jepret.
Salah satu tempat terlarang buat jeprat-jepret sembarangan adalah kawasan Baduy Dalam di Banten. Soalnya masyarakat Baduy—terutama Baduy Dalam, Baduy Luar agak “longgar”—memang memegang teguh tradisi leluhur, dan berupaya mencegah tradisi luar masuk lalu berpotensi mengubah kebiasaan setempat.

Anti-Sabun, Sampo, dan Pencemar Lingkungan Lainnya
Bahkan saking ketatnya, kalau kamu datang ke sana nggak boleh membawa sabun, sampo, dan sikat gigi. Pantang bagi orang Baduy menggunakan barang-barang “kota” itu. Namun, bukan berarti mereka nggak menjaga kebersihan, ya. Penduduk Baduy tetap melakukannya bahkan dengan cara yang ramah lingkungan.
Mereka tidak menggunakan pembersih “modern” karena ogah tanah dan air mereka tercemari bahan kimia perusak keseimbangan alam.
(Video: WatchDoc Documentary)
Ke Mana-Mana Berjalan Kaki
Orang Baduy tidak boleh menggunakan kendaraan saat bepergian. Mereka hanya berjalan kaki. Berjalan, berjalan, dan berjalan—nggak kayak kamu, ke warung depan yang cuma sepelemparan sandal jauhnya aja naik motor. Eh, gimana?
Kebiasaaan berjalan kaki itulah yang membuat mereka kuat dan bugar, sehat, hampir tak pernah jatuh sakit.
Jadi nggak bisa, dong, menyeberang pulau? Ya iyalah! Ada kepercayaan kalau orang Baduy meninggalkan daratan, masyarakatnya akan punah.

Rajin Merawat Persaudaraan
Meski banyak larangan dan pantangan, terkesan eksklusif, masyarakat Baduy sama sekali tidak antisosial. Mereka punya kebiasaan mengunjungi-balik orang-orang yang pernah bertamu mendatangi mereka. Tentu saja kunjungan-balik itu mereka lakukan dengan berjalan kaki. Kalau kamu penduduk Jakarta dan kebetulan melihat bapak-bapak atau mas-mas mengenakan baju hitam atau putih, celana pangsi, bertelanjang kaki, dengan ikat kepala putih atau biru-hitam di trotoar, kemungkinan besar itu adalah orang Baduy yang melakukan perjalanan kunjungan-balik.

Omong-omong soal larangan, orang Baduy juga nggak boleh menikah dengan selain Baduy. Kalau pria Baduy menikah dengan non-Baduy, perempuannya harus menjadi penduduk Baduy. Sedangkan perempuan Baduy yang menikah dengan pria non-Baduy akan terusir dari kampungnya. Duh, sedih, ya…
Akan tetapi aturan keras itu hanya berlaku untuk suku Baduy Dalam saja. Sementara Baduy Luar lebih “longgar” dalam segala hal. Mulai dari pakaian, jenis makanan yang dimakan, penggunaan transportasi, bahkan juga telepon seluler. Nah, biasanya masyarakat Baduy luarlah yang menghubungkan pengunjung ke Suku Baduy Dalam, secara cuma orang Baduy Luar yang bisa memegang ponsel.
[wpsm_titlebox title=”Sarmin, Urang Kanekes” style=”3″]
Sarmin adalah sahabat saya dari Kampung Cibeo, Baduy Dalam. Saya mengenalnya sejak 2008. Ia biasa mengantar tamu-tamu yang mengunjungi Baduy, dan sering menemani saya jika berkunjung ke sana. Sosoknya pendiam dan pemalu, itu kesan kebanyakan orang saat pertama bertemu dengannya. Sebenarnya ia gemar bercanda. Kalau sudah akrab, dia suka melakukan hal konyol dan tak jarang jail.

Sarmin tidak suka disebut orang Baduy, dia lebih memilih dipanggil “Urang Kanekes”, atau “Orang Kanekes” dalam Bahasa Indonesia. Memang, sih, istilah “Baduy”—asalnya dari Bahasa Arab—sering berkonotasi negatif: terasing, bodoh, terbelakang, tak berperadaban, dsb.
Pemuda 24 tahun ini jago membuat anyaman gelang. Ia sering ke Jakarta, dengan berjalan kaki tentunya.
(Foto & Narasi: Guntur Surya Kusuma)[/wpsm_titlebox]
Mati Gaya Perlu Dicoba
Kenikmatan berkunjung ke Baduy sebenarnya terletak pada momen-momen perjalanannya yang haqiqi. Perjalanan dari Kampung Cijahe masuk ke perkampungan Baduy adalah ziarah meninggalkan hiruk-pikuk dunia untuk mengalami peradaban awal sebelum bumi menjadi tempat yang terlalu pragmatis dan disesaki manusia ngehek seperti sekarang. Sepanjang perjalanan, yang terdengar hanya bunyi dedaunan dan gemerisik tapak kaki ditingkahi kicauan burung.
Menjelang sore, segala bentuk aktivitas masih berwujud. Kala gelap beneran datang, semesta enggan menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Senyap. Masyarakat setempat melanjutkan kegiatan di rumah masing-masing, bertemankan lampu teplok yang menyala seadanya.
Buat orang-orang yang tiap saat hobinya mantengin media sosial, keheningan itu mungkin saja bagai kiamat. Mati gaya. Gimana pun, menarik, kok, untuk dicoba: sejenak libur dari stalking nguntitin orang, mantan, rekan kerja, selebgram atau selebtwat yang seringnya cuma membangkitkan cemburu akan silaunya citra indah—cuma pencitraan itu, coy, percayalah—hidup yang tak bisa dimiliki.
Menyepi di Baduy juga bisa menjadi sarana refleksi diri, bahwa hidup lebih mudah jika kita mau apa adanya, sederhana, bersahaja, legowo, ndak neko-neko nggak ngoyo, selow aja banyakin ketawa dibanding berduka yang nggak penting alasannya dan apalagi keranjingan drama. Gak percaya? Cobalah jalan-jalan ke sana, bermukim bangsa sehari-dua…